SIFAT-SIFAT PRIBADI TIDAK SEHAT
Manusia sebagai makhluk biologis, psikologis,
sosisologis, dan spiritual, tentunya akan menghadapi berbagai masalah dalam
kehidupan. Kita sering menemui masalah yang dihadapi oleh orang-orang di
sekitar kita dan mungkin juga diri kita sendiri yang mengalaminya, sehingga
dalam berinteraksi sosial sering terjadi konflik antar tetangga, teman, bahkan
keluarga sendiri. Ini menunjukkan bahwa pribadi kita tidak sehat kareana
terjadi ketidakserasian dalam mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri,
orang lain, lingkungan dan Allah Swt.
Beberapa indikasi sifat-sifat orang yang memiliki
pribadi tidak sehat dan ini perlu perbaiki oleh setiap insan. Sifat-sifat ini
dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, oleh karena itu konselor mempunyai
peran untuk mendorong dan mengarahkan konseli yang membutuhkan bantuan kita
untuk merubah sifat-sifat yang tidak baik menjadi lebih baik.
A.
Putus Asa
Putus asa
berarti habis harapan, tidak ada harapan
lagi. Seseorang dikatakan putus asa apabila tidak lagi mempunyai harapan
tentang sesuatu yang semula hendak dicapai.
Penyebab seseorang putus asa biasanya karena
terjadinya kegagalan yang berulang kali dalam mencapai cita-cita atau
pengharapan sesuatu. Sebenarnya, penyebab utamanya bukanlah persoalan yang
dihadapi semata-mata, melainkan cara menyikap persoalan tersebut.
Orang putus asa berarti
kehilangan semangat dan ghairah untuk mencapai sesuatu yang semula diharapkan.
Putus asa biasanya diikuti dengan sikap masa bodoh, tidak mau lagi berusaha.
Islam mendidik umatnya agar tidak putus asa dari rahmat Allah. Allah swt.
Berfirman dalam Q.S. Yusuf: 87 sebagai berikut.
Artinya:
“Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang
kafir".
Walaupun ayat di atas berkaitan dengan sejarah
Nabi Yusuf a.s., namun dapat diambil pengertian secara umum bahwa setiap muslim
hendaknya tidak putus asa dalam menghadapi masalah apapun.
Putus asa termasuk akhlak madzmumah, maka
dampatnya amat negatif bagi dirisendiri dan orang lain. Setiap muslim harus
menghindari diri dari putus asa. Cara untuk menghindarinya, antara lain:
a.
Merenungi kegagalan yang dialami orang lain sehingga dapat memperoleh
perbandingan dari pengalaman pahit orang lain.
b.
Selalu yakin bahwa Allah akan memberi jalan keluar atas persoalan yang
dihadapi apabila dirinya dekat dengan Allah swt.
B.
Rakus
dan Serakah
Rakus
dan serakah
disebut juga tamak. Kata tamak berasal dari bahasa Arab طَمِعَ- يَطْمَعُ- طَمَعًا yang berarti
loba, tamak, dan rakus. Secara istilah berarti terlampau besar nafsunya
terhadap keduniaan, misalnya terhadap kekayaan harta benda. Orang yang
terlampau besar nafsunya untuk memiliki harta mencurahkan pikiran dan tenaga
agar dapat harta kekayaannya semakin banyak.
Allah swt. mencipta dunia ini sebagai sarana kehidupan
manusia. Tanpa harta, manusia susah hidupnya, namun dengan harta pula, manusia
dapat cealka (apabila tidak bersikap hati-hati). Larangan bersikap tamak atau
rakus terungkap dalam firman Allah swt. berikut ini.
Artinya:
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. al-Hadid : 20)
Menghindari diri dari sifat tamak atau rakus berarti
berusaha memiliki sifat qanaah. Adapun upaya untuk menghindari dari sifat
rakus, antara lain:
a.
Sering memerhatikan kehidupan orang yang di bawahnya (yang lebih miskin)
agar dapat mensyukuri nikmat yang diterima dari Allah swt.;
b.
Mengurangi perhatiannya terhadap orang-orang yang di atasnya (yang lebih
kaya) agar tidak terpengaruh olehnya.
C.
Dendam
Dendam berarti keinginan yang keras yang terkandung dalam
hati untuk membalas kejahatan. Orang yang selalu ingin membalas kejahatan
dengan kejahatan disebut pendendam. Dendam sering terjadi karena adanya
sebagian anggota masyarakat melakukan hal-hal yang tidak terpuji.
Islam mendidik umatnya agar bersikap lapang dada, tidak
dendam terhadap suatu kejahatan yang ditimpakan kepada dirinya. Apabila
terpaksa harus membalas, hendaknya berimbang antara kejahatan yang diterima
dengan yang ditimpakan kepada pelakunya. Allah berfirman dalam Q.S. asy-Syura:
40 sebagai berikut.
Artinya:
“dan Balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan
berbuat baik. Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim.”
Untuk menghindari perilaku dendam dijelaskan dalam al-Quran sebagai berikut:
Artinya:
“dan tidaklah
sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang
besar.” (Q.S. Fussilat
: 34-35)
Intinya adalah:
a.
Melatih diri untuk bersabar terhadap sesuatu yang mengecewakan hati.
b.
Menyadari sepenuhnya bahwa setiap manusia berpeluang untuk berbuat jahat.
c.
Menyadari bahwa dirinya sendiri suatu saat mungkin juga berbuat jahat
sebagaimana orang lain berbuat jahat.
D.
Hilang Rasa Malu
“Bila ada pohon yang rindang, kerapkali yang
dipuji adalah daun-daunnya yang banyak. Juga dipuji batangnya yang kuat,
besar, dan tinggi; dahan-dahannya yang kuat; atau ranting-rantingnya yang
banyak. Sedangkan akar-akarnya kerap dilupakan. Padahal batang, dahan,
ranting, dan daun tak akan bermakna apa-apa bila tidak diperkuat oleh
akar. Begitu akar tercerabut, maka tumbanglah batang, dahan, ranting, dan
daun. Begitu juga manusia atau kelompok manusia dalam suatu negeri.
Seseorang dianggap terpandang karena hartanya yang
melimpah, pendidikannya yang tinggi, atau kedudukannya yang mapan. Namun
kadangkala rasa malunya jarang dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang
memperkuat. Padahal bila tak diperkuat akarnya yang berupa rasa, ia
lambat atau cepat akan tumbang. Bila rasa malunya hilang, maka sama
artinya dengan hilang unsur yang amat penting dari imannya. Dalam keadaan
itu tiada, seseorang akan gampang untuk berbuat apa saja, termasuk kejahatan
yang bisa menyebabkan kerusakan diri dan masyarakat tempat ia berada.
jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan
berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang
merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada
diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan
tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.
Nabi bersabda,
اَلحْيَاَءُ وَ اْلإِيْمَانُ قَرْنًا
جَمِيْعًا فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الْآخَرُ
Artinya:
“Rasa malu dan iman itu terikat
menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan
penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini
disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’
Shaghir, no. 1603).
Bahkan, sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW
dalam suatu hadits, kehilangan rasa malu pada suatu kaum, menjadi pertanda
kehancuran besar bagi negeri kaum tersebut berada.
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا اَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ
عًبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ
إِلاَّّ مَقِيْتًا مُمَقّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ
الأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلاَّّ خَائِنًا مُخَوِّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ
إِلاَّّ خَائِنًا مُخَوِّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ
الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلاَّّ رَجِيْمًا مُلًعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ
إِلاَّّ رَجِيْمًا مُلًعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الإِسْلاَمِ
Artinya:
“Sungguh jika Allah berkehendak
untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah
tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang
yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang
tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang
yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan
dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi
orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”
Kiranya demikianlah yang terjadi saat ini di
negeri ini. Tidak sedikit orang, termasuk orang-orang penting, yang sudah
demikian gampang berbuat keji karena hilang rasa malunya. Dengan
demikian, disadari atau tidak, kita sebagai bagian dari kaum tersebut sedang
perlahan tenggelam dalam kehancuran.
E.
Kikir (al-Bakhl)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kikir diartikan
sebagai sikap mental pelik dalam menggunakan hartanya. Sikap kikir tidak hanya
terjadi pada sesuatu yang berkaitan dengan materi, tetapi juga terjadi pada non materi
seperti kikir dalam memberi perhatian, kasih sayang dan dalam memberi nasehat
dan petunjuk untuk kebaikan orang lain. Sifat kikir menunjukkan kekerdilan iman
di jiwa. Menurut Rasulullah, dalam jiwa seseorang, tidak mungkin bersatu iman
dan kikir. (HR. At- Thayalis).
Allah telah memberi tuntunan kepada umat mukmin tentang
etika membelanjakan harta, baik untuk dirinya maupun orang lain, antara lain
seperti yang disebut pada ayat berikut:
Artinya:
“Dan janganlah
kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (QS. 17:29)
Melalui ayat ini, Allah mengingatkan bahwa sikap terlalu
kikir menggunakan harta terhadap dirinya dan orang lain adalah hina. Demikian
juga terlalu pemurah, karena sikap ini sering membuat seseorang menyesal yang
mengakibatkan kehampaan nilai ibadah. Sikap yang baik dan dipuji ialah sikap
hemat dalam arti sederhana, tidak terlalu kikir dan tidak pula terlalu
dermawan.
Ada juga yang bakhil ilmu yaitu orang yang dikaruniai
kelebihan kecerdasan dan kepandaiannya sehingga banyak ilmu, akan tetapi hanya
digunakan untuk kepentingan pribadinya dan tidak mau memanfaatkan ilmunya yang
dimilikinya untuk kepentingan masyarakat. Padahal, ilmunya sangat dibutuhkan
oleh orang lain, bangsa, negara dan agamanya.
Orang yang kikir tidak hanya merugikan orang lain, akan
tetapi dapat pula merugikan dirinya sendiri, karena orang yang kikir tidak akan
diterima, disukai dalam pergaulan masyarakat, bahkan di akherat kelak pun akan
menerima siksaan.
Rasulullah bersabda:
اَلْبَخِيْلُ بَعِيْدٌ مِنَ اللهِ , بَعِيْدٌ مِنَ النَّاسِ
بَعِيْدٌ مِنَ الْجَنَّةِ قَرِيْبٌ مِنَ النَّارِ .......
Artinya :
F.
Pemalas (al-Kasl)
Pemalas ialah orang yang tidak punya motivasi, gairah dan
nyali bekerja untuk memperbaiki hidup masa depan. Orang bersifat seperti itu
disebut pemalas yang lebih senang berpangku tangan dan bertopang dagu
menyaksikan orang lain sibuk bekerja keras dari pagi sampai sore memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Dalam Islam sikap mental umat sperti ini termasuk
penyakit rohani yang tidak sejalan dengan semangat Islam yang terus mendorong
penganutnya supaya bekerja keras untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat seperti disampaikan dalam beberapa ayat dan hadist Rasulullah. Misalnya
Allah berfirman:
Artinya:
“Maka apabila
kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Ayat-ayat di atas, menunjukkan bahwa agama Islam
memberikan perhatian besar terhadap usaha-usaha umat dalam memenuhi
kelangsungan hidup dan memberi peringatan kepada umat Islam bahwa pemalas itu
bukan sifat seorang muslim. Sifat malas melahirkan pengangguran. Pengangguran
melahirkan kemiskinan. Kemiskinan melahirkan kekufuran. Islam tidak mengenal
istilah pengangguran. Pengangguran lahir dari sikap malas, tidak bergairah
untuk bekerja. Alasan tidak ada pekerjaan adalah keliru dan mengada-ada, sebab
Allah tmengumumkan:
Artinya:
“Sesungguhnya pekerjaan di bumi ini beragam.”
Pada kenyataannya usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sangat beragam dan sulit disebut satu persatu. Di sisi Allah semua
pekerjaan itu sama derajatnya.
G.
LALAI
Kelalaian merupakan lawan
dari tafakkur. Dari sisi pandang akhlak, setiapkali tafakkur dan perenungan
yang semakin tinggi maka hal itu akan menyebabkan ketinggian dan kesempurnaan
manusia.
Sebaliknya kelalaian,
betapapun kecilnya, dia pasti akan menjerumuskan manusia. Dan berdasarkan
ungkapan al-quran bahwa kelalaian akan menjerumuskan manusia hingga ketingkatan
hewan, dan bahkan lebih rendah lagi. Allah swt berfirman QS. Al-a’raf 179
Artinya:
“ dan Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”
Bagi orang-orang yang
kelalaian telah menguasai hati mereka, mereka mempunyai mata namun mereka tidak
dapat melihat dengan mata itu, mereka mempunyai telinga namun mereka tidak
dapat mendengar dengan telinganya, dan mereka mempunyai hati namun mereka tidak
dapat memahami dengan hatinya, meraka itulah sebagai binatang, bahkan mereka
lebih sesat lagi.
Walau sekiranya kita
tidak memiliki dari lain tentang kelalaian selain dari ayat al-Quran ini,
niscaya sudah cukup bagi kita untuk megatakan bahwa kelalaian adalah merupakan
sifat yang tercela.
Pada ayat yang lain Allah
berfirman bahwa kelalaian dapat mengunci hati dan menutup pendengaran dan
penglihatan QS. An-Nahl 108
Artinya:
“mereka Itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan
penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka Itulah orang-orang
yang lalai.”
Orang-orang yang lalai
tidak mempunyai hati, hati mereka terkunci. Mereka tidak mempunyai hati yang
sadar, tidak mempunyai pendengaran yang mampu mendengar dan tidak mempunyai
penglihatan yang mampu melihat. Sehingga pada akhirnya, gembok kelalaian telah
mengurung mereka ke derajat binatang. Sifat kelalaian merupakan kebalikan dari
sifat sadar dan mawas diri, dia mendorong manusia kepada kehancuran, dan dia
mendorong kepada kehilangan dunia sebagaimana kehilangan akhirat.
H.
WAS-WAS
Was-was adalah lawan dari yakin. Was-was
merupakan sifat tercela, dan terhitung lebih berbahaya dari sifat bodoh.
Was-was merusak agama seseoang dan akhiratnya, dan juga mendorongnya kepada
kesengsaraan.
Was-was menurut bahasa berarti dendangan, yaitu
lintasan-lintasan pikiran. Al-qur’an al-karim menyebutkan bahwa sesungguhnya
was-was hanya bagi mereka yang lemah hubungannya dengan Allah SWT. lintasan-lintasan
pikiran yang buruk itu berasal dari teman yang buruk, dan juga akan mengena
kepada teman yang buruk pula. Setan membisikkan kepada teman-temannya, dari
kalangan orang-orang yang fasik dan banyak berbuat dosa, untuk membantah kamu.
Allah berfirman dalam Q.S. an-Nas: 1-6
Artinya:
“Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang
memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari
kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.”
QS. Az-Zukhruf: 36
Artinya:
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang
Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka
syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”
Ayat diatas mengatakan bahwa orang yang tidak memperkuat hubungannya
dengan Allah SWT, orang yang tidak mengerjakan shalat pada awal waktunya dan
orang yang lalai dari mengiungat Allah SWT, maka setan akan mendatangi dan
menemaninya selalu. Setan akan selalu menyertainya, dan akan meniupkan
bisiskan-bisikan kepadanya dan memasukkan kesesatan di dalam hatinya,
Jadi dalam pandangan al-qur’an al-karim, di sana ada
setan yang memasuki diri orang yang was-was. Meskipun orang yang was-was itu
tidak melihatnya, namun senantiasa menyertainya, baik ketika dirumah, ketika
tidur, ketika mengerjakan shalat dan ketika mandi. Setan berbicara dengannya
tatkala dia sedang berwudhu. Misalnya dengan mengatakan wudhunya tidak
sempurna, atau wudhunya batal karena muka belum terbasuh secara benar. Atau
tatkala dia mandi, dan air telah mengenai kepala dan lehernya, setan menegtakan
kepadanya bahwa mandinya tidak sempurna, dan mamaksakannya untuk menyelesaikan
mandinya dalam waktu yang lama. Dan setiap kali orang itu bertambah dekat
kepada setan maka diapun akan menghabiskan lebih banyak lagi waktunya untuk
meyelesaikan mandinya.
Was-was itu ada dua jenis, ada was-was yang langsung,
yaitu was-was yang mendorong manusia kepada perbautan dosa. Adapun was-was
jenis lain adalah was-was khannas, yaitu was-was yang disertai dengan dalil dan
pembenaran perkara. Bahaya was-was jenis yang kedua ini lebih besar
dibandingkan bahaya was-was jenis pertama, dan bahaya orang yang was-was jauh
lebih besar dari pada bahaya orang yang melakukan maksiat.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka
ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
DAFTAR PUSTAKA
Mazhahiri,
Husain. Membentuk Pribadi Menguatkan
Rohani. Jakarta: Lentera, 2001.
Ritonga,
Rahman. Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia, Surabaya: Amelia.
2005.
T.
Ibrahim, Darsono. Membangun Akidah dan Akhlak. Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2008.
Posting Komentar