EKSISTENSI BAHASA MADURA DALAM LINGKARAN ERA GLOBALISASI
Oleh Fawaid
Zaini*
Merebahnya arus globalisasi dalam realitasnya tidak hanya menjadi
konsumsi orang-orang perkotaan saja yang secara georafis sentral sebuah
perubahan, kini dengan derasnya arus globalisasi itu telah merebah pada pedesan
yang terpencil. Sehingga ada banyak perubahan yang secara signifikan terjadi
baik itu berkiatan dengan pola pikir, budaya serta yang tidak bisa dipandang
sebelah mata yaitu penggunaan bahasa ibu.
Diakui atau tidak bahwa era globalisasi saat ini merupakan indikasi
terhadap semakin majunya sebuah Negara satu sisi dan sisi yang lain merupakan
penjajahan yang terselubung. Hal itu terbukti sebagai contoh kecilnya yaitu
penggunaan bahasa ibu yang mulai berkurang. Tidak sedikit para pemuda sebagai
pewaris kebudayaan kali ini enggan menggunakan bahasa ibu bahkan dianggap gensi.
Bagi mereka berbahasa Indonesia dan inggris merupakan alat komunikasi mereka
setiap hari. Dan dianggapnya keren.
Dalam hal ini dari banyak bahasa ibu di Indonesia, bahasa ibu yang
mulai banyak ditinggalakan oleh masyarakatnya terutama perkotaan yaitu bahasa
Madura.dibenarkan atau tidak bahwa kegandrungan masyarakat Madura khususnya
para pemuda terhadap penggunaan akan bahasa ibu (red madura) saat ini sangat
memperihatinkan.
Seperti yang apa yang dikatakan oleh lambertus l. Hurek saat ini Madura sebagai ibu yang kaya akan
bahasa telah mengalami degrasi. Dulu, penuturnya sekitar 15 juta orang,
sekarang di bawah 10 juta. Data yang terakhir malah menyebutkan 6 juta. Dari
1981 sampai sekarang berarti sudah turun 9 juta penutur. Itu pun tidak semuanya
aktif berbahasa Madura penutur yang aktif tinggal 6 juta.
Ada
apa dengan bahasa Madura yang sebenarnya
Bahwa bahasa Madura disamping sebagai identitas akan kemaduraannya,
bahasa Madura juga berkaitan erat dengan stratifikasi sosial masyarakat Madura.
Dalam hal ini senadah dengan apa yang dikatakan (Laksono dan Siegel: 1986)
bahwa sistem stratifikasi sosial dikaitkan dengan jenis-jenis tingkatan bahasa
yang digunakan dalam masyarakat, posisi sosial seseorang akan menetukan pilihan
tingkat bahasa yang digunakan.
Bahasa Madura jika dilihat dari tingkatannya ada empat yaitu tinggi
(abdhina dan panjhenengan), halus (kaula dan sampeyan),
menengah (bula dan dhika) dan kasar atau mapas (sengko’
dan ba’na atau kake dan seda).(A. Latief Wiyata:2006)
Empat tingkatan bahasa tersebut di atas digunakan terhadap orang
yang berbeda pula dalam artian orang Madura dalam berkomunikasi dengan orang
lain berbahasa disesuaikan dengan orang yang diajak berkomunikasi misalnya murid
terhadap kiainya yang digunakan adalah bahasa tinggi, halus, sedangkan murid
sesamanya bahasa yang digunakan bahasa kasar atau mapas.
Karena tingkatan bahasa Madura dalam hal ini tidak saja menunjukkan
pada perbedaan linguisatik akan tetapi masuk pada ranah relasi yang sangat erat
dengan status seseorang dalam sistem sosial. Maka kesalahan orang Madura dalam
penggunaan berbahasa tidak hanya kesalahan linguisatik akan tetapi kesalahan
sosial bahkan secara kultural kesalahan tersebut terutama penggunaan bahasa
kasar yang digunakan bukan pada tempat dinilai sangat fatal atau janggal
( Red Madura).
Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa bahasa Madura adalah bahasa
yang sarat akan nilai-nilai dan norma sosial. Karena secara otomatis dengan
cara penggunaan bahasa dalam berkomunikasi setiap hari kita bisa mengetahui
terhadap seseorang baik itu berkaitan dengan kesopanannya atau sebaliknya lebih
tepatnya akan mengetahui terhadap karakter seseorang.
Bahasa Madura Dalam
Gilasan Era Globalisasi
Bahasa Madura
yang konon memiliki ciri dan keunikan tersendiri itu, akhirnya harus mengalami
nasib yang sama sebagaimana terjadi pada nasib bahasa daerah lainnya. Padahal
banyak kalangan terkagum-kagum ketika mendengarkan dialog antara orang Madura
dengan menggunakan bahasa ibunya. Ada sesuatu yang menarik, yang pekat dengan
ciri dan warna khas, yaitu Madura. Apalagi ketika ungkapan-ungkapan kias yang
disampaikan penutur dengan bahasa puitis, begitu indahnya hati dan telinga
mendengarkannya.(Syaf Anton Wr: 2012)
Bukan bermaksud
untuk melebihkan realitas di lapangan bahwa sekarang masyarakat Madura mulai
enggan menggunakan bahasa ibu sendiri, tanpa kita sadari dan akui terkadang
kita memang merasa kurang keren jika harus berbahasa Madura terutama di dunia
maya hal tersebut dapat kita lihat sebagai contoh kecilnya. Jejaring Facebook
sejauh ini yang penulis temuai teman-teman yang kelahiran Madura ketika update
status jarang yang menggunakan bahasa Madura padahal bagi penulis di wadah
inilah tempat kita memperkenalkan bahasa Madura dikancah nasional .
Kurangnya minat
masyarakat Madura menjaga bahasa ibu dipengaruhi beberapa faktor diantaranya:
1. Tidak ada
jurusan Bahasa Madura di perguruan tinggi
Diakui atau
tidak tidak adanya perguruan tinggi yang ada jurusan bahasa Madura itu sangat
mempunyai banyak pengaruh akan kepunahan bahasa ibu karena tempat yang edial
diperguruan tinggi inilah para mahasiswa yang notabenenya bagian dari
masyarakat untuk mengenal dan mendalami bahasa Madura.
2. Gengsi
Masyarakat
Madura terutama para pemudanya merasa inferior jika harus berbahasa Madura
bahkan yang paling ngeri mereka mempunyai asumsi bahwa menggunakan bahasa
Madura itu ngedeso, tradisional dan tidak keren.
Mereka lebih
terlena dengan bahasa-bahasa baru baik itu dari bahasa asing dan bahasa
Indonesia yang tidak baku terutama banyak kita temui dalam komunikasi setiap
hari baik melalui via telfon dan SMS dan yang marak sekarang
jejaring sosial seperti facebook, twitter dan lain-lain
3. Kurangnya media
Dimadura sangat
sedikit media bahkan bisa dikatakan tidak ada media yang mencoba menayangkan
dengan menggunakan bahasa Madura, padahal lewat media inilah tempat yang sangat
strategis untuk menjaga eksistensi dan konsistensi bahasa Madura (halus)
4. Pola hidup dan
pola komunikasi dalam keluarga
Dewasana ini
lingkungan keluarga telah meninggalkan bahasa ibu terutama keluarga yang secara
geografis di perkotaan, malah yang mereka perkenalkan pertama bagi anaknya yang
baru belajar berbicara menggunakan bahasa Indonesia bahkan ada juga yang
menggunakan bahasa asing (inggris), biasanya keluarga yang baik bapak atau
ibunya menjadi guru pengajar bahasa inggris.
Sehingga anak
menjadi kurang tertarik kepada bahasa ibu, atau bisa jadi bahasa ibu itu
menjadi hal aneh bagi anak-anak mereka. Contohnya panggilan saja kepada ibu
bapaknya sekarang lebih banyak menggunakan bahasa asing seperti bokap-nyokap,
aba-ummi, papa-mama, sangat sedikit yang menggunakan panggilan eppak-embu’,
rama-epu, emma’-mama’.
- Lemahnya kontrol masyarakat, institusi masyarakat, lembaga pemerintah, lembaga pendidikan dan para ahli (pakar).
Di faktor inilah
yang sekarang ini juga mempersempit pemamahan masyarakat Madura untuk menjaga
eksistensi dan konsistensi bahasa ibu. Lihat saja lembaga pendidikan formal
(sekolah). Saat ini jarang kita temui yang memasukkan pelajaran bahasa Madura
di kurikulumnya.
Apalagi dengan
munculnya kurikulum baru saat ini yang lebih kepada penjurusan yang mana
pelajaran yang disajikan semakin ramping sehinga bisa dipastikan memasukkan
pelajaran bahasa Madura semakin sempit, soalnya dimuatan lokalnya lebih di isi
dengan pelajaran yang lainya, seperti bahasa arab untuk yang jurusan IPA
misalnya.
Padahal di ranah
pendidikan sekolahlah tempat dimana peserta didik belajar banyak tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan budaya kita, serta di ranah inipulah yang
sangat stategis untuk memperkenalkan tentang jati Madura.
Apa yang bisa kita lakukan
Menghadapi
semakin terkikisnya bahasa ibu maka penulis mempunyai asumsi bahwa ada beberapa
wadah yang bisa menjadi media diantaranya lembaga pendidikan formal(sekolah),
pesantren dan seni tradisional (lodruk dan topeng). Karena pada wadah
inilah tempat yang sangat strategis dan juga dianggap mampu untuk melestarikan
bahasa ibu.
Ø
Pendidikan
formal (sekolah)
Sekolah sebagai
lembaga formal yang tujuan dasarnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
pewaris kebudayaan diharapakan mempunyai kontribusi besar terhadap pelestarian
bahasa ibu. Disamping itu juga di sekolah pulalah tempat anak-anak atau pemuda
untuk mendulang banyak ilmu pengetahuan.
Senadah dengan
apa yang dikatakan oleh Syaf Anton Wr (2012) Salah satu dasar yang
paling prinsipil untuk mengembalikan bahasa Madura sebagai bahasa kesatuan
masyarakat Madura, yaitu melalui media pendidikan. Media pendidikan merupakan
embrio yang signifikan dalam memperhatikan kekuatan bahasa Madura, karena dari
sini generasi muda minimal dapat diingatkan kembali, setelah bahasa mereka
diluar menggunakan bahasa pergaulan, sedang dalam lingkup keluarga telah
terpatron dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Walaupun kita
pahami bersama bahwa dengan munculnya kurikulum baru 2013 tersebut mempersempit
mata pelajaran akan tetapi bukan berarti melupakan atau tidak memasukkan bahasa
ibu (bahasa madura) sebagai bagian dari mata pelajaran. Dalam hal ini
mengurangi jam dari mata pelajaran muatan lokal. Disamping itupulah pelestarian
bahasa Madura dalam ranah pendidikan tentu merupakan hal urgen pasalnya
kurikulum 2013 ini lahir sebagai jawaban
terhadap semakin banyaknya kekerasan
atau perilaku agresif antar siswa. Yang semua itu sebagai faktor terkecilnya
adalah berawal dari agresif verbal (berbahasa).
Ø
Pesantren
Dalam konteks
bahasa Madura tak dapat dipungkiri bahwa pesantren hingga saat ini menjadi
salah satu lembaga yang turut merawat pelestarian bahasa Madura. Selain
digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dalam pengajian kitab-kitab kuning,
dipesantren–pesantren tradisional bahasa Madura dipandang sebagai symbol
tatakrama pergaulan sehari-hari.(M. Mushthafa:2013)
Bahasa Madura
dengan pesantren bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa terlepas satu sama
lain. Karena walaupun tidak berbentuk hukum tertulis harus berbahasa Madura
(halus) para santri ketika ingin pamit pulang kepada kiainya mesti harus
menggunakan bahasa Madura halus bahkan sampai diikuti dengan jalan nengkong
(red madura) untuk masuk ke rumah kiai. Apalagi dalam proses pembelajaran
kitab mesti menggunakan bahasa Madura.
Ø
Seni
tradisional (Lodruk Dan Topeng)
Wadah yang
terakhir inilah semakin tanpak ditinggalkan oleh masyarakat madura khususnya
para pemuda, mereka berasumsi bahwa seni tradisional tersebut sangat katrok dan
ngedeso. Bahkan dengan sangat tegasnya mengatakan bahwa lodruk atau topeng
sebuah seni yang tidak ada latar belakangnya yang jelas, mereka lebih menyukai
seni-seni yang diproduksi oleh Negara-negara barat
Terlepas dari
halal dan haram yang hal ini sudah ada patokan dalam syariat islam kita coba
lihat dari tatakrama dalam berkomunikasi antar mereka. Sebagai contoh bagaimana
seharusnya anak berbahasa terhadap orang tuanya atau kita sebut dengan sebutan Rato,
begitu sangat indah jika kita mendengarnya serta susunan bahasa yang penuh
dengan puitis. Seharusnya lewat wadah ini anak-anak kita perkenalkan tentang
bagaimana seharusnya berbicara dengan menggunakan bahasa yang sesuai aturan
dalam bahasa Madura, selain itu anak bisa menghargai hasil karya petuah-petuah
kita.
Posting Komentar