EKSISTENSI BAHASA MADURA
DALAM LINGKARAN ERA GLOBALISASI
OLEH FAWAID
ZAINI*
Merebahnya arus globalisasi dalam realitasnya tidak hanya menjadi
konsumsi orang-orang perkotaan saja yang secara georafis sentral sebuah
perubahan, kini dengan derasnya arus globalisasi itu telah merebah pada pedesan
yang terpencil. Sehingga ada banyak perubahan yang secara signifikan terjadi
baik itu berkiatan dengan pola pikir, budaya serta yang tidak bisa dipandang
sebelah mata yaitu penggunaan bahasa ibu.
Diakui atau tidak bahwa era globalisasi saat merupakan indikasi
terhadap semakin majunya sebuah Negara satu sisi dan sisi yang lain merupakan
penjajahan yang terselubung. Hal itu terbukti sebagai contoh kecilnya yaitu
penggunaan bahasa ibu yang mulai berkurang. Tidak sedikit para pemuda sebagai
pewaris kebudayaan kali ini enggan menggunakan bahasa ibu bahkan dianggap gensi
jika harus berbahasa ibu. Bagi mereka
berbahasa Indonesia dan inggris merupakan alat komunikasi mereka setiap hari.
Dan dianggapnya keren.
Bahasa sebagaimana dikatakan oleh Dyastriningrum dalam
bukunya Antropologi menyatakan bahwa bahasa adalah emas, bahasa adalah pondasi,
bahasa adalah payung dalam kata lain bahasa
adalah sesuatu yang sangat berharga dan sangat diperlukan.
Dari apa yang di sebutkan di atas sangat jelas bahwa bahasa
merupakan hal urgen dalam keidupan kita yang dalam hal ini hidup bermasyarakat
yang tidak lepas dari menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi. Soalnya
dengan bahasa manusia akan mengerti akan perintah, kemarahan, pujian bahkan
akan penipuan.
Sehingga mau tidak mau ada tuntutan bagi para pemuda khususnya
untuk pemeliharaan atau menjaga eksistensi dan konsistensi akan
bahasa ibu karena jika hal tersebut ditinggalkan itu berarati menghilangkan
identitas dirinya dan juga jati
diri daerahnya.
Dalam hal ini dari banyak bahasa ibu di Indonesia, bahasa ibu yang
mulai banyak ditinggalakan oleh masyarakatnya terutama perkotaan yaitu bahasa Madura.dibenarkan
atau tidak bahwa kegandrungan masyarakat Madura khususnya para pemuda terhadap
penggunaan akan bahasa ibu (red madura) saat ini sangat memperihatinkan dengan
kata lain sangat menurun.
Seperti yang apa yang dikatakan oleh lambertus l. Hurek saat ini Madura sebagai ibu
yang kaya akan bahasa telah mengalami degrasi. Dulu, penuturnya sekitar 15 juta orang,
sekarang di bawah 10 juta. Data yang terakhir malah menyebutkan 6 juta. Dari
1981 sampai sekarang berarti sudah turun 9 juta penutur. Itu pun tidak semuanya
aktif berbahasa Madura. Penutur yang aktif tinggal 6 juta.
Sungguh sangat
meris melihat realitas yang terjadi di masyarakat Madura dalam hal ini
apresiasi terhadap bahasa ibu yang jauh dari harapan besar. Karena hal tersebut
bukan angka yang kecil akan tetapi sangat besar bagi kita.
Ada apa dengan
bahasa Madura yang sebenarnya
Bahwa bahasa
Madura disamping sebagai identitas akan kemaduraannya, bahasa Madura juga
berkaitan erat dengan stratifikasi sosial masyarakat Madura. Dalam hal senadah
dengan apa yang dikatakan Laksono dan Siegel: 1986 bahwa system
stratifikasi sosial dikaitkan dengan jenis-jenis tingkatan bahasa yang
digunakan dalam masyarakat, posisi sosial seseorang akan menetukan pilihan
tingkat bahasa yang digunakan.
Bahasa Madura
jika dilihat dari tingkatannya ada empat yaitu tinggi (abdhina dan
panjhenengan), halus (kaula dan sampeyan), menengah (bula
dan dhika) dan kasar atau mapas (sengko’ dan ba’na atau kake
dan seda).(A. Latief Wiyata:2006)
Empat tingkatan
bahasa tersebut di atas digunakan terhadap orang yang bebeda pula dalam artian
orang Madura dalam berkomunikasi setiap hari dengan orang lain berbahasa
disesuaikan dengan orang yang diajak berkomunikasi misalnya murid
terhadap kiainya yang digunakan adalah bahasa tinggi, murid
terhadap gurunya maka yang digunakan adalah bahasa halus,murid sesama
murid yang seumuran bahasa yang digunakan bahasa kasar atau mapas.
Karena
tingkatan bahasa Madura dalam hal ini tidak saja menunjukkan pada perbedaan
linguisatik akan tetapi masuk pada ranah relasi yang sangat erat dengan status
seseorang dalam system sosial. Maka kesalahan orang Madura dalam penggunaan
berbahasa tidak hanya kesalahan linguisatik akan tetapi kesalahan sosial bahkan
secara cultural kesalahan tersebut terutama penggunaan bahasa kasar yang
digunakan bukan pada tempat dinilai sangat fatal atau janggal ( Red
Madura).
Tidak bisa kita
pungkiri lagi bahwa bahasa Madura adalah bahasa yang sarat akan nilai-nilai dan
norma sosial. Karena secara otomatis dengan cara penggunaan bahasa dalam
berkomunikasi setiap hari kita bisa mengetahui terhadap seseorang baik itu
berkaitan dengan kesopanannya atau dengan ketidak sopanannya atau lebih
tepatnya akan mengetahui terhadap karakter seseorang.
Bagaimana bahasa Madura yang sekarang
Bahasa Madura yang konon memiliki ciri dan keunikan
tersendiri itu, akhirnya harus mengalami nasib yang sama sebagaimana terjadi
pada nasib bahasa daerah lainnya. Padahal banyak kalangan terkagum-kagung
ketika mendengarkan dialog antara orang Madura dengan menggunakan bahasa
ibunya. Ada sesuatu yang menarik, yang pekat dengan ciri dan warna khas, yaitu
Madura. Apalagi ketika ungkapan-ungkapan kias yang disampaikan penutur dengan
bahasa puitis, begitu indahnya hati dan telinga mendengarkannya.(Syaf Anton
Wr: 2012)
Bukan bermaksud untuk melebihkan realitas di lapangan bahwa
sekarang masyarakat Madura mulai enggan menggunakan bahasa ibu sendiri, tanpa
kita sadari dan akui terkadang kita memang merasa kurang keren jika harus
berbahasa Madura terutama di dunia maya hal tersebut dapat kita lihat sebagai
contoh kecilnya. Jejaring Facebook sejauh ini yang penulis temuai teman-teman
yang kelahiran Madura ketika update status jarang yang menggunakan bahasa
Madura padahal bagi penulis di wadah inilah tempat kita memperkenalkan bahasa
Madura dikancah nasional .
Dari contoh terkecil di atas dapat kita tarik kesimpulan
sementara bahwa kita (masyarakat madura) telah mulai meninggalkan bahasa ibu
yang seharusnya kita jaga eksistensi dan konsistensinya. Malah kita lebih
menggalakkan bahasa bahasa Indonesia da itupun bukan bahasa baku seperti salting,
masbulo Dll.
Kurangnya minat masyarakat Madura menjaga bahasa ibu
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya:
1.
Tidak
ada jurusan Bahasa Madura di perguruan tinggi
Diakui atau tidak tidak adanya
perguruan tinggi yang ada jurusan bahasa Madura itu sangat mempunyai banyak pengaruh
akan kepunahan bahasa ibu karena tempat yang edial diperguruan tinggi inilah
para mahasiswa yang notabenenya bagian dari masyarakat untuk mengenal dan
mendalami bahasa Madura.
2.
Gengsi
Masyarakat Madura terutama para
pemudanya merasa inferior jika harus berbahasa Madura bahkan yang paling ngeri
mereka mempunyai asumsi bahwa menggunakan bahasa Madura itu ngedeso,
tradisional dan tidak keren.
Mereka lebih terlena dengan
bahasa-bahasa baru baik itu dari bahasa asing dan bahasa Indonesia yang tidak
baku terutama banyak kita temui dalam komunikasi setiap hari baik melalui via telfon
dan SMS dan yang marak sekarang jejaring sosial seperti facebook,
twitter dan lain-lain
3.
Kurangnya
media
Dimadura sangat sedikit media bahkan
bisa dikatakan tidak ada media yang mencoba menayangkan dengan menggunakan
bahasa Madura, padahal lewat media inilah tempat yang sangat strategis untuk
menjaga eksistensi dan konsistensi bahasa Madura (halus)
4.
Pola
hidup dan pola komunikasi dalam keluarga
Dewasana ini lingkungan keluarga telah
meninggalkan bahasa ibu terutama keluarga yang secara geografis di perkotaan,
malah yang mereka perkenalkan pertama bagi anaknya yang baru belajar berbicara
menggunakan bahasa Indonesia bahkan ada juga yang menggunakan bahasa asing
(inggris), biasanya keluarga yang baik bapak atau ibunya menjadi guru pengajar
bahasa inggris.
Sehingga anak menjadi kurang
tertarik kepada bahasa ibu, atau bisa jadi bahasa ibu itu menjadi hal aneh bagi
anak-anak mereka. Contohnya panggilan saja kepada ibu bapaknya sekarang lebih
banyak menggunakan bahasa asing seperti bokap-nyokap, aba-ummi, papa-mama,
sangat sedikit yang menggunakan panggilan eppak-embu’, rama-epu,
emma’-mama’.
- Lemahnya kontrol masyarakat,
institusi masyarakat, lembaga pemerintah, lembaga pendidikan dan para ahli
(pakar).
Di faktor inilah yang sekarang ini juga mempersempit
pemamahan masyarakat Madura untuk menjaga eksistensi dan konsistensi bahasa
ibu. Lihat saja lembaga pendidikan formal (sekolah). Saat ini jarang kita temui
yang memasukkan pelajaran bahasa Madura di kurikulumnya.
Apalagi dengan munculnya kurikulum baru saat ini yang lebih
kepada penjurusan yang mana pelajaran yang disajikan semakin ramping sehinga
bisa dipastikan memasukkan pelajaran bahasa Madura semakin sempit, soalnya
dimuatan lokalnya lebih di isi dengan pelajaran yang lainya, seperti bahasa
arab untuk yang jurusan IPA misalnya.
Padahal di ranah pendidikan sekolahlah tempat dimana peserta
didik belajar banyak tentang berbagai hal yang berkaitan dengan budaya kita,
serta di ranah inipulah yang sangat stategis untuk memperkenalkan tentang jati
Madura.
Apa yang bisa kita lakukan
Menghadapi semakin terkikisnya bahasa ibu maka penulis
mempunyai asumsi bahwa ada beberapa wadah yang bisa menjadi media diantaranya
lembaga pendidikan formal(sekolah), pesantren dan seni tradisional (lodruk
dan topeng). Karena pada wadah inilah tempat yang sangat strategis dan juga
dianggap mampu untuk melestarikan bahasa ibu.
Pendidikan
formal (sekolah)
Sekolah sebagai lembaga formal yang
tujuan dasarnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan pewaris kebudayaan
diharapakan mempunyai kontribusi besar terhadap pelestarian bahasa ibu.
Disamping itu juga di sekolah pulalah tempat anak-anak atau pemuda untuk
mendulang banyak ilmu pengetahuan.
Senadah dengan apa yang dikatakan
oleh Syaf Anton Wr (2012) Salah satu dasar yang paling prinsipil untuk
mengembalikan bahasa Madura sebagai bahasa kesatuan masyarakat Madura, yaitu
melalui media pendidikan. Media pendidikan merupakan embrio yang signifikan
dalam memperhatikan kekuatan bahasa Madura, karena dari sini generasi muda
minimal dapat diingatkan kembali, setelah bahasa mereka diluar menggunakan
bahasa pergaulan, sedang dalam lingkup keluarga telah terpatron dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
Walaupun kita pahami bersama bahwa
dengan munculnya kurikulum baru 2013 tersebut mempersempit mata pelajaran akan
tetapi bukan berarti melupakan atau tidak memasukkan bahasa ibu (bahasa madura)
sebagai bagian dari mata pelajaran. Karena sekali lagi penulis katakan bahwa pendidikan
sekolah sangat mempunyai tempat yang strategis untuk melestarikan bahasa ibu,
serta pembiasaan berbahasa Madura halus disaat berinteraksi baik siswa dengan
siswa atau guru dengan siswa di luar kelas.
Pesantren
Dalam konteks bahasa Madura tak
dapat dipungkiri bahwa pesantren hingga saat ini menjadi salah satu lembaga
yang turut merawat pelestarian bahasa Madura. Selain digunakan sebagai bahasa
pengantar terutama dalam pengajian kitab-kitab kuning, dipesantren–pesantren
tradisional bahasa Madura dipandang sebagai symbol tatakrama pergaulan
sehari-hari.(M. Mushthafa:2013)
Bahasa Madura dengan pesantren
bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa terlepas satu sama lain. Karena
walaupun tidak berbentuk hukum tertulis harus berbahasa Madura (halus) para
santri ketika ingin pamit pulang kepada kiainya mesti harus menggunakan bahasa
Madura halus bahkan sampai diikuti dengan jalan nengkong (red
madura) untuk masuk ke rumah kiai. Apalagi dalam proses pembelajaran kitab
mesti menggunakan bahasa Madura.
Seni
tradisional (Lodruk Dan Topeng)
Wadah yang terakhir inilah semakin
tanpak ditinggalkan oleh masyarakat madura khususnya para pemuda, mereka
berasumsi bahwa seni tradisional tersebut sangat katrok dan ngedeso. Bahkan
dengan sangat tegasnya mengatakan bahwa lodruk atau topeng sebuah seni yang
tidak ada latar belakangnya yang jelas, mereka lebih menyukai seni-seni yang
diproduksi oleh Negara-negara barat
Terlepas dari halal dan haram yang
hal ini sudah ada patokan dalam syariat islam kita coba lihat dari tatakrama
dalam berkomunikasi antar mereka. Sebagai contoh bagaimana seharusnya anak
berbahasa terhadap orang tuanya atau kita sebut dengan sebutan Rato, begitu
sangat indah jika kita mendengarnya serta susunan bahasa yang penuh dengan
puitis. Seharusnya lewat wadah ini anak-anak kita perkenalkan tentang bagaimana
seharusnya berbicara dengan menggunakan bahasa yang sesuai aturan dalam bahasa
Madura, selain itu anak bisa menghargai hasil karya petuah-petuah kita.
*Mahasiswa
semester ballu’ e STIA Beraji Sumenep, oreng dhisa Longos, se saat samangken
ngabdhi e lembaga MA Al Karimiyyah Beraji
tor jughan e lembaga Taufiqurrahman Longos.
Posting Komentar