ANTARA
TANTANGAN DAN HARAPAN TENAGA PENDIDIK PAI DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Oleh Fawaid Zaini
Menyoal
tentang pendidikan maka tidak akan pernah lepas dari masalah pendidikan dan
ketika bicara soal masalah secara otomastis akan terdaftar jenis-jensi masalah
yang panjang dari A hingga Z, dalam hal ini penulis menganalogiakan problem
pendidiakn kita layaknya tumpukan sampah yang ada di kota Jakarta, yang mana
disetiap jalan-jalan kecil selalu terdapat tumpukan sampah dengan bauh anyir
yang menyengat sepertinya disetiap kita berjalan dan melihat maka distulah
terdapat tumpukan sampah yang pada akhirnya berakibat terjadinya banjir yang
luar biasa. Bagitulah juga dengan pendidiakn kita Indonesia, setiap kita
mencoba melihat dari sisi yang berbeda dengan titik sentrallnya adalah
pendidikana maka pada sisi itulah akan menumukan problem pendidikan di
Indonesia.
Akhir-akhir
ini pendidiakn kita kembali digoncangkan dengan berbagai fenomena yang sangant
menyedot banyak perhatian public yaitu dari terjadinya pelecehan seksual yang
terjadi siswa bawa umur di Jakarta Internasional School atau yang kita tahu
dengan sebutan JIS, disamping itu juga sebagaimana dilangsir oleh Koran Jawa
Pos hari senin tanggal 28 April 2014 bahwa salah satu mahasiswa atas nama Dimas
Dikita Handoko umur 19 tahun di STIP Jakarta dalam hal ini dibawah naungan
Kementrian Perhubungan, harus menghakhiri nyawanya akibat luka lebam ditangan
seniornya yang hingga kini keenam taruna diberhentikan oleh pihak STIP. Selain
dijakarta problem yang juga menyedot perhatian public adalah dilangsir oleh
Koran Radar Madura di hari yang sama fenomena itu ternyata juga terjadi di
kabupaten sumenep yang mana siswa SD di cabuli oleh 6 orang ABG. Dan di hari
sebelumnya dalam Koran Jawa Pos juga terdapat problem yang menimpa pendidikan
kita yang lebih banyak lagi menyedot perhatian public dan membuat seluruh orang
tua jadi priahatin terhadap anaknya yaitu hari Minggu tanggal 27 April 2014
yatiu pelajar SMK dalangi pembunuhan Pacar. “benar
benar tragis syaiful hadi 17 tega menghabisi nyawa kekasihnya yang masih bauh
kencur, Erni Marfuah. Kematian remaja 14 tahun yang tinggal di Dusun Bodean Desa Kabat itu terungkap
ketika mayatnya ditemukan warga disungai Dusun Kabat Mantren” . yang paling
aneh adalah mereka para pembunuhnya adalah masih duduk di kelas XI SMK swasta
sedangkan si korban masih duduk di SMP.
Melihat
realitas diatas muncul berbagai asumsi-asumsi dari para praktisi pendidikan dan
masyarakat, yang mana tidak sedikti yang secara tegas menyatakan bahwa pendidikan
kita Indonesia telah gagal merealisasikan tujuan pendidikan sebagaimana
diamanatkan dalan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa
tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkannya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Disamping
itu juga yang mendapat pukulan berat adalah peran guru Agama dalam usaha mendidik
peserta didiknya, kritikan-kritikan tersebut jika kita persentasikan lebih
condong dialamatkan pada tenaga Pendidik dalam pelajaran Agama atau lebih
tepatnya adalah PAI. Karena diakui atau tidak yang sangat dekat dengan fenomena
itu adalah Tenaga Pendidik Agama, sehingga tidak salah ketika mareka dengan
lantangnya bertiriak pada Tenaga Pendidiknya akan fenomena itu.
Asumsi
tajam yang dialamatkan pada tenaga pendidika Agama tidak selamanya bisa dibenarkan pasalnya tanggung
jawab ini bukanlah hanya bagi tenaga pendidikan agama saja akan tetapi kita
semua mempunyai tanggung jawab khususnya orang tua perserta didik bagaimana pendidikan kita Indonesia ini tidak
selalu dihantui oleh berbagai persoalan atau problem yang tidak berkesudahan,
satu belum selesai muncul problem yang baru yang sehingga terkesan pendidikan
kita pada umumnya dan pada khususnya tenaga pendidik Agama selalu mendapat
kritikan tajam bahkan selalu menjadi kambing hitamnya. Hal ini dijustifikasi
oleh Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Bagian Ketiga pada
pasal 8 bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Harapannya
dengan direalisasikanya kurikulum yang baru ini yaitu kurikulm 2013 dapat
meningkatkan peran tenaga pendidik di bidang agama dalam mengupayakan atau
meminimalisir problem tersebut di atas. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Nifasri Muh Nir, M.Pd mengatakan
bahwa dengan lahirnya kurikulum 2013 semakin meningkatkan peran PAI, Inti
perubahan dari kurikulum 2013 adalah perubahan mind set dimana guru sudah bukan
lagi satu satunya sumber belajar tetapi guru menjadi fasilitator bagi peserta
didik untuk mencari tahu.
Walaupun dalam hal ini tenaga pendidik atau Guru
bukanlah penentu yang utama atau kita ibaratkan dengan orang tidak pernah salah
akan tetapi yang jelas posisinya tetap
strategis dalam proses pendidikan. Guru merupakan faktor penentu keberhasilan
implementasi kurikulum 2013. Dalam kurikulum 2013 peran dan kualitas GPAI
sangat dibutuhkan untuk menghasilkan insan Indonesia yang kreatif, produktif,
inovatif, melalui penguatan sikap (religiusitas dan sosial), ketrampilan dan
pengetahuan secara terintegratif. apalagi jumlah jam mapel PAI ditambah menjadi
3 jam per minggu, hal ini menuntut para guru PAI untuk lebih kreatif, inovatif
untuk menyajikan pembelajaran yang lebih interaktif, aktif, menyenangkan
sehingga mampu meningkatkan ketertarikan dan antusiame siswa mengikuti
pembelajaaran PAI. Guru PAI dituntut untuk menguasai pendekatan scientifik agar
pendidikan agama Islam lebih berkualitas.( http://mikojazt.blogspot.com/2013/12/peran-guru-pai-dalam-implementasi.htm)
Menjadi guru, pada dasarnya, bukanlah hanya sekedar
menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi guru bertanggung jawab atas
perubahan prilaku peserta didik sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam
proses mengajar, guru atau pendidik harus membimbing peserta didik agar
potensi mereka berkembang, melatih keterampilan baik keterampilan intelektual
maupun keterampilan motorik sehingga peserta didik dapat berani hidup dalam
masyarakat yang cepat berubah dan penuh persaingan. Guru juga harus memotivasi
peserta didik agar dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dalam masyarakat
yang penuh tantangan dan rintangan, dan membentuk peserta didik agar memiliki
kemampuan inovatif dan kreatif (Wina Sanjaya, 2006 : 14).
Oleh
karena itu dari berbagai banyak rentetan pesoalan dalam ranah pendidikan kita,
maka harapannya adalah dengan munculnya kurikulum yang baru ini dapat menjawab
persoalan-persoalan dalam ranah pendidikan serta dapat menjadi obat mojarab
akan persoalan yang tidak hinti-hintinya menimpa pendidikan kita. Sebaimana pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 bertujuan
meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan
budi pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang
sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. (majalah
pendis Edisi
No. 1/I/ 2013, hal 49)
Serta
tenaga pendidika khusunya dibidang agama dengan alokasi waktu yang bertambah
dari sebelumnya untuk dapatnya lebih meningkatkan kualitas akhlak peserta
didik. Karena pada intinya munculnya kurikulum baru ini adalah usaha pendidikan dalam menjawab
persoalan yang pelik dalam dunia pendidikan khusunya dalam ranah dekadensi
moral peserta didik. Sebagaimana
dijelaskan dalam majalah pendis bahwa Hal lain yang menonjol dalam Kurikulum 2013 adalah perumusan
dan pengelompokan kompetensi menjadi Kompetensi Inti (KI), yang dikelompokkan
menjadi KI 1 (Sikap Spritual; terkait dengan tujuan membentuk peserta didik
yang beriman dan bertaqwa), KI 2 (Sikap Sosial; terkait dengan tujuan membentuk
peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab), KI 3 (Pengetahuan) dan KI 4 (Keterampilan). Kompetensi Inti diibaratkan
anak tangga yang harus ditapaki oleh peserta didik untuk mencapai Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) (majalah pendis Edisi No. 1/I/ 2013,
hal 51). Sehingga nantinya bukan tenaga
pendidik agama yang mendapat rangking pertama dalam salah menyalahkan terhadap
persoalan dekadensi moral peserta didik.