EFEKTIVITAS KANTIN KEJUJURAN DALAM
MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK
(studi kasus di Yayasan Taufiqurrahman Desa Longos
Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep tahun 2012/2013.)
Fawaid Zaini
Abstrak
Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual
segala kebutuhan peserta didik baik berupa makanan,minuman serta segala
perlengkapan peserta didik baik berupa alat tulis menulis maupun buku tulis.
Semuanya dipajang dalam etalase kantin kejujuran tanpa ada penjaga,sebagaimana
lazimnya sebuah kantin yang kita kenal selama ini. Sedangakan karakater sebaimana arti dasar yaitu karakter adalah budi
pekerti, akhlak, moral, afeksi, susila, tabiat, dan watak. Maka dalam hal ini lebih dikhususkan kepada
sebuah karakater yang harus dimiliki oleh peserta didik yang hal tersebut
ditanamkan tidak hanya pada ranah pendidikan dalam kelas akan tetapi ada
aplikasi langsung di lapangan dengan dibentuknya kantin kejujuran yang
tujuannya agar peserta didik dapat mengamplikasikan nilai-nilai karakter
kejujuran. Skripsi ini fokus pada, 1.Realisasi kantin kejujuran dalam membentuk karakter peserta didik. 2.
Bagaimana pengelolaan kantin kejujuran dalam membentuk karakter peserta didik
di Yayasan Taufiqurrahman. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber
data dalam riset ini adalah ketua yayasan, tenaga pendidik, peserta didik,
karyawan kantin dan tokoh masyarakat dan dokumen-dokumen kantin kejujuran
yayasan Taufiqurrahman. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
peran kantin kejujuran dalam membentuk karakter sangatlah segnifikan. Namun
yang perlu diperhatikan juga bahwa penerapan. Penerapan manajemen yang efektif
dan efesien merupakan hal mutlak yang harus pengurus kantin kejujuran
perhatikan, karena hal ini juga akan menjadi barometer keberhasilan penerapan
kantin kejujuran.
Kata Kunci: Kantin Kejujuran dan Karakter Peserta Didik
A. PENDAHULUAN
Dalam ranah pendidikan terdengar banyak isu yang muncul
belakangan ini, baik itu akan segera dirubahnya kurikulum baru, sistem
pendidikan yang masih perlu tanda tanya besar, output yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat serta semakin menurunnya karakter
peserta didik.
Untuk yang hangat diperbincangkan saat ini berubahnya kurikulum
yang akan segera dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2013 nanti yaitu kurikulum
2013, dari yang sebelumnya Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, Berubahnya
kurikulum yang akan segera direalisasikan yaitu kurikulum 2013 tentu mengundang pro dan kontra di masyarakat
lebih-lebih para praktisi pendidikan. Sehingga sekarang masih menjadi
perbincangan yang belum menemukan titik terang walaupun sudah diputuskan bahwa
kurikulum tersebut mau tidak mau akan diuji coba tahun 2013 ini. Akan tetapi yang
esensial dari perbincangan tersebut adalah tentang kurikulum baru yang dikaitkan
dengan merosotnya moral peserta didik atau karakter peserta didik.
Ketika berbicara masalah karakter peserta
didik tentu bukan merupakan hal yang baru akan tetapi hingga kini sepertinya
munculnya kurikulum pendidikan karakter itu masih belum bisa menjawab realitas
di lapangan yang ada hubungannya dengan karakter yang belakangan ini sudah
sangat mengerikan, baik itu dari peserta didik yang bolos sekolah, tawuran,
minum-minuman keras serta banyak ditemukannya adegan-adegan mesum yang pelakunya
adalah anak yang masih berstatus sebagai peserta didik.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (Meneg PP-PA) Linda Amalia Sari Gumelar mengungkapkan
keprihatinannya terhadap tawuran dan kekerasan antarpeserta didik yang menelan
korban. Ia mengimbau agar kurikulum pendidikan karakter di sekolah jangan hanya
berupa teori, melainkan praktek nyata.[1]
Beda lagi dengan isu-isu yang terjadi di lapangan di mana
banyak peserta didik yang dikejar-kejar oleh Satuan Polisi Pamong Praja (satpol
PP) gara-gara bolos masuk sekolah. Masih banyak kejadian-kejadian yang hal
tersebut menyita perhatian masyarakat serta menunjukkan bahwa pendidikan kita
masih jauh dari harapan besar UU Sikdiknas No. 20/2003.[2]
Seperti apa yang dikatakan oleh Herbert Spencer
sebagaimana yang dikutip oleh Barnawi bahwa pendidikan adalah merupakan objek
pendidikan karakter, dan kita akui bahwa
pendidikan karakter yang kita laksanakan memang tidak serta merta akan
menampakkan bentuk/hasil, tetapi merupakan proses panjang[3].
Walaupun hal di atas dapat dibenarkan tetapi realitasnya
pendidikan karakter itu sepertinya hanya berhenti di silabus dan rencana proses
pembelajaran (RPP) saja tidak pada praktek langsung di lapangan sehingga peserta
didik hanya kaya akan kognitif saja. Hasilnya nihil dan tidak heran jika peserta
didik masih banyak yang bolos, tawuran, minum-minuman keras serta makna
kejujuran masih belum tertanam dalam diri peserta didik.
Di samping itu juga kegagalan anak di sekolah bukan
karena faktor kecerdasan otak tetapi pada karakter, yaitu percaya diri, kemauan
bekerja sama, kemauan bergaul dan kejujuran.[4]
Padahal
sekolah adalah tempat yang sangat strategis bahkan yang utama setelah keluarga
untuk membentuk karakter peserta didik. Bahkan seharusnya setiap sekolah
menjadikan kualitas karakter sebagai salah satu quality assurance yang
harus dimiliki oleh setiap lulusan sekolahnya.
Dalam hal ini peran sekolah jika kita
lihat dari kacamata agama Islam yaitu
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
(سورة الروم: ٣٠
)
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(Q.S. Ar-Rum:
30)[5]
Sebagian
mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab
memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya
fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan, Secara
bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî’ah
(tabiat, karakter) yang diciptakan Allah SWT, pada manusia.[6]
Peran sekolah
disini sudah sangat jelas yaitu bagaimana sekolah tersebut mampu membentuk
karakter terhadap peserta didik, sehingga nantinya menjadikan peserta didik
yang taat beragama dan meniti di jalan yang lurus.
Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW yang artinya:
Artinya:
“Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Jarir menceritakan pula kepada kami dari Mansur, dari Abi Wail, dari Abdullah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Sebaliknya, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”[7]
“Usman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Jarir menceritakan pula kepada kami dari Mansur, dari Abi Wail, dari Abdullah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, kejujuran itu menunjukkan jalan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang dapat dinilai jujur bila ia (benar-benar) mengimplementasikan nilai kejujuran tersebut. Sebaliknya, kebohongan itu menunjukkan jalan kesesatan dan kesesatan itu mengantarkan ke neraka. Karenanya, seseorang yang seringkali berbohong, hingga ia dicatat di sisi Allah swt. sebagai pembohong.”[7]
Di samping hal di atas para peneliti,
dan tokoh pendidikan dengan jelas ikut menyuarakan pentingnya masalah
pembentukan karakter ini:
John
Stuatr Mill dalam buku yang ditulis oleh Barnawi (2012: 17) menyatakan
bahwa pembangunan karakter sebagai solusi untuk masalah dan merupakan pendidikan edial.[8]
Theodore Roosevelt, mantan
presiden USA yang dikutip oleh Abd Majid (2012) mengatakan:“To educate a person
in mind and not in morals is to educate a menace to society” “Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman
mara-bahaya kepada masyarakat”.[9]
Mahatma
Gandhi (2012) memperingatkan tentang salah satu dari tujuh dosa fatal, yaitu: “(1)
Kekayaan tanpa kerja, (2) Kenikamatan tanpa suara, (3) Bisnis tanpa moralitas
(etika), (4) Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, (5) Agama tanpa pengorbanan, (6)
Politik tanpa prinsip, dan yang ke-(7) “education without character”
(pendidikan tanpa karakter)” [10]
Dari beberapa pendapat di atas
sangat jelas sekali bahwa pendidikan karakter itu sangat penting,untuk merealisasikan itu tidak hanya diproses kegiatan belajar mengajar saja akan tetapi mencoba
terobosan-terobosan baru seperti yang dilakukan oleh Yayasan Taufiqurrahman dengan didirikannya kantin kejujuran.
Dan apa yang
dilakukan oleh lembaga ini sangat tepat melihat nilai-nilai kejujuran, tanggung
jawab serta nilai-nilai lainya sudah mulai mengurang, dan di samping itu hal
ini juga merupakan layanan khusus yang menunjang manajemen peserta didik yang
memang harus lembaga berikan kepada peserta didiknya, agar makanan yang akan
dikonsumsi bisa terjamin kebersihannya serta bergizi[11]
Dari
uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian di Yayasan
Taufiqurrahman yang bertempat di Desa Longos Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep
yang untuk saat ini telah memberikan layanan kepada peserta didik yang
berbentuk kantin kejujuran. Harapan peneliti adalah dari hasil penelitian ini
akan menjadi bahan pijakan dalam pengambilan keputusan oleh lembaga serta mampu
di dalam menjawab tantangan pendidikan yang sekarang telah mengalami kemunduran
di berbagai ranah, sebagai contoh kecil semakin berkurangnya nilai-nilai karakater
peserta didik.
Dari latar belakang di atas, maka peneliti dapat membuat beberapa rumusan
masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas
realisasi kantin kejujuran dalam membentuk karakter peserta didik? 2. Bagaimana pengelolaan kantin kejujuran dalam membentuk
karakter peserta didik di Yayasan
Taufiqurrahman?
B.
KAJIAN TEORI
1.
Pengertian Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris
yaitu effective yang berarti berhasil, atau sesuatu yang dilakukan
berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan efektivitas sebagai
ketepatan penggunaan,[12]
Adapun Martoyo sebagaiman dikutip oleh Luqman (2012:5) memberikan definisi sebagai berikut “Efektivitas dapat pula diartikan sebagai
suatu kondisi atau keadaan, di mana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai
dan sarana yang digunakan, serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga
tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan”. [13]
Efektivitas pada dasarnya mengacu pada
sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu
dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian untuk kerja yang
maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan
waktu.
Dari pengertian-pengertian efektivitas
tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang
menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah
dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih
dahulu. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mencari tingkat efektivitas dapat
digunakan rumus sebagai berikut:
Efektivitas
= output Aktual / output Target >=1
a.
Jika
output berbanding output yang
ditargetkan lebih besar atau sama dengan 1 (satu), maka akan tercapai
efektivitas.
b.
Jika
output berbanding output yang
ditargetkan kurang daripada 1 (satu), maka efektivitas tidak tercapai.[14]
2.
Kantin Kejujuran
Berangkat dari kantin itu
sendiri yaitu tempat yang digunakan oleh seseorang untuk membeli makan, atau
hanya dijadikan tempat untuk memakan makanan. Kantin kejujuran ini tentu berawal dari gagasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai pentingnya
Kantin Kejujuran sebagai media melakukan pendidikan dini untuk hidup jujur
kepada semua peserta didik di sekolah dan telah dilakukan di beberapa sekolah
di Jakarta dan sekitarnya, maka kini gagasan tersebut mendapat respon positif.[15]
Di kantin inilah para peserta didik dapat dibangun nilai-nilai karakter
pasalnya ketika peserta didik mengadakan transaksi tidak ada yang menjaga atau
peserta didik dapat mengambil apa saja yang mereka sukai dengan langsung menyimpan
uangnya di tempat khusus, serta jika ada kembaliannya dapat mengembil sendiri
sesuai dengan bahan yang dibelinya.
Sehingga pendidikan karakter mempunyai peranan sangat penting dalam
pengelolaan kantin kejujuran, karena melalui kantin kejujuran ini peserta didik
akan dibentuk karakternya dengan mulai dibiasakan untuk belajar jujur. Hal
tersebut terlihat ketika peserta didik berada di kantin pada saat membeli
makanan dan minuman serta membayar sendiri tanpa ada yang mengawasi.
3.
Model Pelaksanaan Kantin Kejujuran
Banyak sekali model-model yang dapat digunakan dalam pelaksanaan kantin
kejujuran akan tetapi yang marak saat ini baik itu di sekolah di kota-kota besar sampai pada sekolah pedesan.
1.
Secara
umum yang terjadi di lapangan di mana kantin tersebut didesain sebagus mungkin
yang di dalam peserta didik bertransaksi tidak ada yang menjaga, dengan kata
lain itu hanyalah ruang yang berisi makan-makanan dan peserta didik langsung
mengambil makan dengan meletakkan uang di tempat yang telah disediakan.
2.
Untuk
pelaksanaan yang berbeda akan tetapi masih dalam ranah membentuk kejujuran di
mana dalam pengelolaannya peserta didik mengambil sendiri seperti yang di atas
akan tetapi masih ada orang yang orang tersebut bukan untuk menjaga uang akan
tetapi hanyalah memperbaiki makanan yang jatuh atau menambahnya jika ada yang
kurang.
3.
Untuk
yang ketiga adalah setiap kelas diberi bahan jualan baik itu berupa makanan
atau minuman, di mana untuk peserta didik yang mau membeli harus pada kelas
masing-masing, untuk penjualan seperti ini dilakukan ketika istirahat atau
sebelum jam pelajaran dimulai. Dalam hal itu peserta didik mengambil
barangnya di ruang khusus dan dibawa kekelas masing-masing seperti yang saat ini dilakukan di Yayasan
Taufiqurrahman di samping barang-barang jualannya di simpan di kantin yang
biasanya.
4. Tujuan dan Manfaat
Kantin Sekolah
Kantin sebagaimana dijelaskan di atas yaitu bagian
dari layanan khusus di sekolah tentu mempunyai banyak manfaat dan fungsi
seperti apa yang dikatakan oleh William H. Roe dalam bukunya School
Business Management menyebutkan beberapa tujuan yang dapat dicapai melalui
penyediaan layanan kantin di sekolah:
1.
Memberikan
kesempatan kepada murid untuk belajar memilih makanan yang baik atau sehat
2.
Memberikan
bantuan dalam mengajarkan ilmu gizi secara nyata
3.
Menganjurkan
kebersihan dan kesehatan
4.
Menekankan
kesopanan dalam masyarakat, dalam bekerja, dan kehidupan bersama
5.
Menekankan
penggunaan tata yang benar dan sesuai dengan yang berlaku di masyarakat
6.
Memberikan
gambaran tentang manajemen yang praktis dan baik
7.
Menunjukan
adanya koordinasi antara bidang pertanian dengan bidang Menghindari terbelinya
makanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebersihannya dan kesehatannya[16]
Dilihat dari tujuan kantin sekolah di
atas, maka kantin sekolah dapat berfungsi untuk:
1.
Membantu
pertumbuhan dan kesehatan peserta didik dengan jalan menyediakan makanan yang
sehat, bergizi, dan praktis
2.
Mendorong
peserta didik untuk memilih makanan yang cukup dan seimbang
3.
Untuk
memberikan pelajaran kepada peserta didik
4.
Memperlihatkan
kepada peserta didik bahwa emosi berpengaruh pada kesehatan seseorang
5.
Memberikan
batuan dalam mengajarkan ilmu gizi secara nyata
6.
Mengajarkan
penggunaan tata yang benar dan sesuai dengan yang berlaku di masyarakat
7.
Sebagai
tempat untuk berdiskusi tentang pelajaran-pelajaran di sekolah, dan tempat menunggu
apabila ada jam kosong [17]
Sehingga
secara tidak langsung kantin sekolah memberikan peluang untuk mengembangkan
tingkah laku dan kebiasaan positif di kalangan peserta didik, karena dikaui
atau tidak keberadaan kantin di sekolah, tidak hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan makan dan minum peserta didik semata, namun juga dapat dijadikan
sebagai wahana untuk mendidik peserta didik tentang kesehatan, kebersihan,
kejujuran, saling menghargai, disiplin dan nilai-nilai lainnya atau dengan kata
lain dijadikan wadah untuk merealisasikan kurikulum karakter selain yang telah
ada di dalam kelas atau di pembelajaran
5. Pengertian
Karakter
Secara etimologi karakter berasal dari
bahasa Yunani, charasseim, yang berarti “mengukir” atau “dipahat”.[18] Suatu ukiran adalah melekat kuat di atas suatu benda
yang diukir yang tidak mudah hilang, menghilangkan ukiran sama halnya
menghilangkan benda yang diukir. Selanjutnya dalam kamus Indonesia Arab, ada
dua kata yang memiliki makna karakter yaitu أخلاق dan طبيعة . Selain
bermakna karakter, kalimat tersebut juga berarti watak, pembawaan, kebiasaan.[19] Begitu pula dalam kamus Al-Munawwir, kata
yang memiliki arti karakter sama persis dengan yang disebutkan di atas.[20]
Sedangkan karakter menurut para pakar
pendidikan mendifinesikan sebagai berikut:
Menurut
Wynne
(2009:7) di dalam buku yang berjudul “Pendidikan Karakter
Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa”,
mengambil
istilah karakter dari bahasa yunani “charassein” yang artinya “to mark”
(menandai atau mengukir), yang lebih berfokus pada melihat tindakan atau
tingkah laku. Wynne mengatakan bahwa ada dua pengertian karakter. Pertama,
istilah karakter menunjukkan bagaimana bertingkah laku, apabila seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, maka orang tersebut
memanifestasikan karakter jelek, sebaliknya apabila seseorang berperilaku
jujur, suka menolong, maka orang tersebut mamanifestasikan karakter yang mulia.
Kedua, istilah
karakter erat kaitannya dengan
“personality”. Seseorang _act disebut “orang berkarakter” kalau tingkah
lakunya sesuai dengan kaidah moral.[21]
Pengertian
yang tidak berbeda juga dikemukakan Dharma Kesuma yang mengatakan bahwa arti
kata karakter adalah budi pekerti, akhlak, moral, afeksi, susila, tabiat, dan
watak.[22]
Dengan pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses
mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk’ unik, menarik,
dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.
6. Nilai-Nilai
Karakter Yang Di Kembangkan
Nilai-nilai di bawah ini merupakan
uraian berbagai perilaku dasar dan sikap yang diharapkan dimiliki peserta didik
sebagai dasar pembentukan karakternya:
Ø
Nilai
keutamaan
Ø
Nilai
kerja
Ø
Nilai
cinta tanah air
Ø
Nilai
demokrasi
Ø
Nilai
kesatuan
Ø
Menghidupi
nilai moral
Ø
Nilai-nilai
kemanusiaan[23]
Nilai-nilai
di atas diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka,
artinya masih ditambahkan nilai-nilai
lain yang relevan dengan situasi sekolah. Misalnya: taqwa kepada Tuhan,
tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih peneliting,
peduli dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta
damai, dan persatuan, dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli,
jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan/citizenship, ketulusan, berani,
tekun, integritas, jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan
kerjasama[24]
Kemendiknas
dalam buku “ Panduan Pendidikan Karakter” sebagaimana dikutip oleh Heri
Gunawan (2012: 35), menjelaskan bahwa:
Nilai-nalai
karakter yang dikembangkan di sekolah yaitu: nilai-nilai karakter yang hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Esa (religius), nilai-nilai
karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri yang di dalamnya meliputi
(jujur, bertanggung jawab, bergaya hidup sehat, disiplin, kerja keras, percaya
diri, berjiwa wirausaha, berfikir logis, kritis, kreatif, inovatif, mandiri,
ingin tahu, cinta ilmu), nilai-nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
yang meliputi (sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada
aturan-aturan sosial, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun,
demokratis), nilai-nilai karakter dalam
hubungannya dengan lingkungan, nilai kebangsaan yang meliputi (nasionalis,
menghargai keberagamaan).[25]
Sedangkan
nilai-nilai karakter sebagaimana dikatakan oleh Arry Ginanjar sebagaimana
dikutip dalam bukunya Dharma Kesuma “ Pendidikan Karkater Kajian
Teori Dan Praktek Di Sekolah” (2012: 13) ada tujuh nilai yang diusung
yaitu: jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerja keras, adil dan peduli[26]
7. Faktor yang Mempengaruhi
Pembentukan Karakter
Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi karakter manusia yang mana para ahli
menggolongkan ke dalam dua bagian yaitu faktor intern dan faktor ekternal.
1.
Faktor
intern
Terdapat
banyak banyak hal yang mempengaruhi faktor internal ini diantaranya : a) insting
atau naluri, pengaruh naluri pada diri seseorang sangat tergantung pada
penyalurannya, naluri dapat menjerumuskan manusia kepada kehinaan, tetapi dapat
juga mengangkat kepada derajat yang tinggi. b) Adat atau kebiasaan,
kebiasaan merupakan salah satu faktor yang juga sangat penting, karena sikap
dan perilaku yang menjadi karakter sangat erat sekali dengan kebiasaan, yang
dimaksud dengan kebiasaan adalah perbuatan yang selalu di ulang-ulang sehingga
mudah untuk di kerjakan. c) kehendak atau kemauan, kemauan adalah
kemauan untuk melangsungkan segala ide dan segala yang dimaksud. d) suara
hati. suara hati berfungsi memperingatkan bahayanya perbuatan buruk dan
berusaha untuk mencegahnya. d) keturunan, dalam kehidupan kita dapat
melihat anak-anak yang berperilaku menyerupai orang tuanya bahkan nenek
moyangnya sekalipun jauh.
2.
Faktor
ekstern
Selain
faktor intern ada juga yang sangat mempengaruhi karakter manusia diantaranya.
a) pendidikan, pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan karakter sehingga baik buruknya seseorang tergantung pada
pendidikan karena pendidikan ikut mematangkan kepribadian manusia sehingga
tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang diterimanya. b) lingkungan,
manusia adalah mahluk sosial sehingga dalam kehidupanya tidak akan pernah lepas
dari pergaualan dengan sesame dan didalam pergaulan inilah manusia secara tidak
langsung akan terbentuk karakter yang sesuai dengan lingkunganya. [27]
Ratna
Megawangi menjelaskan bahwa terbentuknya karakter itu adalah ditentukan oleh 2
faktor yaitu :
1) Nature (Faktor Alami Atau Fitrah) Agama
mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai
kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan.
Sehingga dalam hal ini Pendidikan
(sekolah) sangat berperan di dalam menentukan pembentukan karakter anak, Hal ini dapat dipahami dari
ayat di bawah ini:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ (سورة
النحل: ٨)
"Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS.
Al-Nahl, 16: 78)[29]
Dalam resolusi majelis umum
PBB adalah "keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan
mensosialisasikan anak, mengembangkan ke mampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik serta memberikan kepuasan dan
lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.
Zakiah Daradjat juga
menyatakan bahwa setiap orang tua dan guru ingin membina anaknya menjadi orang
yang baik, mempunyai kepribadian dan sikap mental yang kuat serta akhlak yang
terpuji. Semuanya itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik pendidikan di
sekolah atau di luar sekolah. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui
penglihatan dan pendengaran akan menentukan pribadinya[30].
Hal ini sesuai pula dengan yang dilakukan Luqmanul Hakim kepada anaknya
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ (سورة
لقمن: ١٣)
Terjemah (Ma’nahu walloohu subhaana Wa
ta’alaa bil a’lam): Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar”. (QS. 31 : 13).[31]
8. Faktor-Faktor Pembentuk
Karakter
Secara umum faktor-faktor
tersebut terbagi dalam dua kelompok yaitu faktor internal dan faktor eksternal.[32]
Faktor internal adalah
kumpulan dari unsur kepribadian atau sifat manusia yang secara bersamaan
mempengaruhi perilaku manusia. Faktor internal tersebut di antaranya :
Ø
Instink Biologis (Dorongan biologis) seperti makan, minum dan
hubungan biologis. Karakter seseorang sangat terlihat dari cara dia memenuhi
kebutuhan atau instink biologis ini. Contohnya adalah sifat berlebihan dalam
makan dan minum akan mendorong pelakunya sersifat rakus/tamak. Seseorang yang
bisa mengendalikan kebutuhan biologisnya akan memiliki karakter waro, zuhud
dan qona’ah yang membawanya kepada karkater sederhana.
Ø
Kebutuhan psikologis seperti kebutuhan akan rasa aman,
penghargaan, penerimaan dan aktualisasi diri. Seperti orang yang berlebihan
dalam memenuhi rasa aman akan melahirkan karakter penakut, orang yang berlebihan
dalam memenuhi kebutuhan penghargaan akan melahirkan karakter sombong/angkuh.
Apabila seseorang mampu mengendalikan kebutuhan psikologisnya, maka dia akan
memiliki karakter tawadhu dan rendah hati.
Ø
Kebutuhan pemikiran, yaitu kumpulan informasi yang membentuk cara
berfikir seseorang seperti isme, mitos, agama yang masuk ke dalam benak
seseorang akan mempengaruhi cara berfikirnya yang selanjutnya mempengaruhi
karakternya.
Sedangkan faktor eksternal
adalah faktor yang ada di luar diri manusia, namun secara langsung mempengaruhi
karakternya. Faktor eksternal tersebut di antaranya faktor keluarga
dalam membentuk karakter anak, kemudian faktor sosial yang berkembang di
masyarakat yang kemudian disebut budaya, serta lingkungan pendidikan
yang begitu banyak menyita waktu pertumbuhan setiap orang, baik pendidikan
formal seperti sekolah atau pendidikan informal seperti media massa, media
elektronik atau masjid.[33]
Dalam
perkembangannya, sebagian faktor itu bersifat mutlak/tetap dan sebagian lainnya
bersifat nisbi/berubah. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah
yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi “.[34]
Kalimat
“fitrah” mewakili karakter muslim. Kalimat “bapaknyalah” bisa bermakna orang
tua dan setiap pihak yang mempengaruhi karakternya, dan kalimat “Yahudi,
Nasrani serta Majusi” mewakili karakter atau sifat bukan bangsa atau ras.
Dengan adanya kedua faktor
itu, maka bisa disimpulkan bahwa karakter seseorang tergantung kepada dua hal
yaitu karakter fitriyah yaitu sifat bawaan yang melekat serta karakter muktasabah
yaitu sifat yang terbentuk dari lingkungan alam, sosial dan pendidikan.[35]
Rasulullah bersabda :
“Ilmu diperoleh dengan belajar dan sifat santun diperoleh
dengan latihan menjadi santun” (HR Bukhori).[36]
9.
Peran Kantin Dalam Membentukan
Karakter Peserta didik
Dari pemaparan di atas sangat jelas
bahwa keberadaan kantin sekolah ada hubungan yang erat dengan bagaimana
pembentukan karakter peserta didik, walaupun tidak tampak akan tetapi bisa kita
lihat hasilnya.
Diakui atau tidak untuk realisasi
pendidikan karakter memang tidak bisa hanya dicukupkan saja di dalam kelas,
karena hal itu hanya berbentuk teori sehingga dianggap perlu media yang lain
seperti dalam hal ini kantin dijadikan terobosan baru di dalam membentuk
karakter peserta didik.
Seperti apa yang dikatakan oleh Menurut
Thomas Lickona (1992), tanda-tanda kehancuran suatu bangsa antara lain:
1. Meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja
2.
Ketidakjujuran yang semakin membudaya
3.
Semakin rendahnya rasa tidak hormat kepada kedua orang tua, guru dan figur pemimpin,
4. Meningkatnya
kecurigaan dan kebencian,
5. Penggunaan
bahasa yang semakin memburuk,
6. Penurunan
etos kerja,
7. Menurunnya
rasa tanggung-jawab individu dan warga negara,
8. Meningginya
perilaku merusak diri,
9. Semakin
kaburnya pedoman terhadap nilai-nilai moral.[37]
Mengingat begitu pentingnya pendidikan
karakter, maka terasa sangat penting untuk dicarikan alternatif baru demi harapan
besar dari pendidikan karakter yang sudah lama didengungkan dapat berhasil,
karena apa yang direalisasikan dalam proses pembelajaran masih kurang mengenak
pada diri peserta didik sebagai indikasinya masih banyaknya peserta didik yang
melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya bertentangan dengan nilai-nilai
karakter seperti membudayanya ketidak jujuran atau kebohongan.
Karakter peserta didik yang diharapkan
disini tentu tidak hanya pada peserta didik itu disiplin, tanggung jawab dan
nilai-nilai lain akan tetapi juga nilai kejujuran yang sekarang ini sudah mulai
luntur di dalam diri peserta didik, baik itu peserta didik sekolah dasar sampai
pada peserta didik tingkat menengah atas.
Di samping juga peran sekolah orang tua
dan masyarakat adalah mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk
karakter pada anak, sehingga sangat tepat ketika sekolah dalam hal ini sebagai
wadah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merealisasikan sebuah kantin
kejujuran dengan tujuan agar dapat membekali anak-anak dengan nilai-nilai
karakter.
Walaupun kita akui bersama bahwa dalam
membentuk karakter bukan selesai seperti dapat disulap, akan tetapi ketika
terus ditanamkan maka nilai-nilai tersebut sudah pasti akan tertanam dalam diri
anak-anak.
C.
PEMBAHASAN
Dalam pengumpulan data yang berjudul “Efektivitas
Kantin Kejujuran Dalam Membentuk Karakter Peserta Didik” peneliti menggunakan
metode observasi, interview dan dokumentasi kemudian dari hasil pengumumlan
data ini peneliti menggunakan analisis deskriptif kualitatif adalah teknik analisa data yang
bersifat non angka atau data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar.
Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut dan selanjutnya penganalisaan dilakukan
dengan menggunakan interpretasi logis terhadap data-data yang diperoleh dan
dianggap sesuai dengan pokok permasalahan.
Sehingga dalam
penelitian ini peneliti menggunakan wawancara tersruktur dan semi struktur, alasan dasarnya adalah
dengan mengunakan dua macam wawancara supaya data yang di peroleh lebih akurat,
dan untuk subjek yang akan peneliti ajak wawancara
Adapun yang dijadikan responden dalam
penelitian ini adalah Ketua Yayasan, Tenaga Pendidik, Pengurus Kantin, Tokoh
Masyarakat dan Peserta Didik. Sedangkan penyajian data dari penelitian ini di Yayasan
Taufiqurrahman Desa Longos Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep adalah mengenai efektivitas
realisasi kantin kejujuran yang telah didirikan oleh Yayasan tersebut terhadap
pembentukan karakter peserta didik dari tingkat RA sampai MA khususnya pada ranah
kejujuran.
1.
Realisasi kantin kejujuran dalam membentuk karakter
peserta didik.
Sebagai bagian dari manajemen layanan peserta didik yang
hal ini merupakan hal yang tidak terpisahkan dari sebuah lembaga yaitu kantin
yang untuk sekarang ini marak diadakannya kantin kejujuran.
Berbicara
tentang efektivitas kantin kejujuran, tentu tidak serta merta kita memvonis
bahwa program ini tidak jalan atau gagal total, karena masih ada sekolah yang
hingga saat ini masih menjalankan program tersebut.
Melalui
kantin ini mereka berharap akan muncul dan tumbuh sifat jujur pada peserta
didik di sekolah. Ending-nya diharapkan terbentuknya generasi yang taat hukum
dan mempunyai karakter serta moralitas tinggi terhadap bangsa. Namun seiring
waktu berjalan, program ini tampaknya mengalami hambatan, kantin kejujuran
seakan “mati suri”.
Walaupun realita di lapangan sudah menunjukkan suatu
proses yang gagal dilakukan oleh lembaga akan tetapi hal tersebut tidak
menyurutkan usaha yayasan Taufiqurrahman di dalam menanamkan nilai-nilai
karakter kepada peserta didiknya dengan mencoba terobosan lewat kantin
kejujuran.
“………..Awalnya kami agak ragu dengan usaha yang kami
lakukan ini yang berupa kantin kejujuran, kantin ini di bentuk berawal
dari saran-saran dari teman-teman guru
yang manyoritas guru yang mempunyai latar belakang organisatoris dan juga tokoh
masyarakat, sehingga saya merasa tertantang untuk segera mendirikannya kantin
ini walaupun sangat sederhana”
[38]
Mendirikan kantin kejujuran memang bukan hal gampang
akan tetapi tidak mungkin dilakukan oleh lembaga-lembaga baik di perkotaan
maupun di pedesaan yang notabenenya mempunyai banyak kekurangan baik yang
berkaitan dengan sarana maupun makanan yang mewah layaknya di kota-kota besar.
Yayasan Taufiqurrahman mungkin bisa dikatakan sebagai sekolah
yang pertama di pedesaan dalam menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta
didik lewat kantin yang disebut dengan kantin kejujuran, walaupun
sebagaimana dikatakan oleh ketua Yayasan
di atas yaitu sangat sederhana, akan tetapi hal ini perlu diberi apresiasi yang
positif. Karena telah mencoba terobosan baru dalam menghadapi degradasi moral
atau lebih tepatnya menurunnya nilai-nilai karakter pada peserta didik.
Kantin
kejujuran merupakan sebuah media hasil kecerdasan manusia dengan objek benda
yang diperjual-belikan kepada peserta didik dengan dimediasi oleh nilai-nilai
kejujuran dalam sebuah peraturan.[39]
Seperti kantin yang lain kantin kejujuran yang ada di
Yayasan Taufiqurrahman ini juga dikelola oleh para pengurus kantin sehingga
dengan pengurus itulah semua terorganisir.
“……… saya mendirikan kantin ini tentu selain memang
suatu kebijakan dari Yayasan, sebenarnya beberapa bulan sebelum kebijakan itu
turun saya memang mempuyai inesiatif untuk mendirikan kantin kejujuran, karena
saya melihat nilai-nilai karakter kejujuran untuk sekarang sudah mulai memudar
bahkan tidak jujur menjadi hal yang biasa, makanya dari itu kalau tidak dimulai
dari sekolah kapan lagi mungkin kalau dirumah orang tua anak-anak sebagian
tidak masuk pada penanaman nilai layaknya disekolah.[40]
Pemaparan pengurus kantin tersebut di atas sangat tepat
jika kita korelasikan dengan realitas yang ada di negri kita Indonesia, yang
mana untuk saat-saat nilai kejujuran sudah tidak di indahkan kembali terutama
bagi para politisi yang terjerat kasus korupsi.
Ngainun Naim (133.2012) menjelaskan kondisi Negara kita
mungkin memang sudah para, tetapi nilai jujur harus terus-menerus
diperjuangkan. Semua pihak yang memiliki
kesadaran akan pentingnya kejujuran harus berusaha semaksimal mungkin untuk
menanamkan nilai kejujuran kepada setiap orang, khususnya anak didik, sebab
jika tidak kehidupan bangsa ini akan menghadapi masa depan yang suram.[41]
“….. saya memilih kantin ini dengan nama kantin
kejujuran yang tujuannya tiada lain dan tiada bukan adalah kantin ini akan kami
jadikan suatu tempat untuk menanankan nilai kejujuran kepada anak-anak.
Walaupun sebagain teman-teman guru tidak setuju dengan kantin kejujuran karena
melihat sekolah yang bertempat di
perkotaan seperti SMA 1 Sumenep yang juga menerapkan kantin kejujuran tetapi
tidak lama bubar karena rugi.[42]
Semangat pengurus kantin Yayasan Taufiqurrahman seperti
pengakuannya memang sangat benar karena langkah awal yang bisa dilakukan tidak
harus dimulai dari hal besar, aspek kecil dan sederhana justru memiliki peranan
yang sangat besar
untuk membangun kesadaran terhadap nilai kejujuran.
Seperti makna jujur itu sendiri yang berarti lurus hati,
tidak berbohong, tidak curang. Jujur merupakan nilai penting yang harus
dimiliki setiap orang, jujur tidak hanya diucapkan tetapi juga harus tercermin
dalam perilaku sehari-hari. Seperti pepatah kuno mengatakan “ kejujuran adalah
mata uang yang laku di mana-mana. Bawalah sekeping kejujuran dalam saku anda,
maka itu telah melebihi mahkota raja sekalian”.[43]
“………. Saya sangat
apresiatif sekali terhadap kebijakan Yayasan yang dalam hal ini diujudnyatakan
dengan didirikannya kantin kejujuran yang mana terobosan baru itu bagi saya
merupakan kilas balik dari proses pembelajaran di kelas dimana peserta didik tidak
hanya dibekali dengan teori-teori saja sedangkan aplikasi belum terlaksana[44]
Melihat terhadap apa yang dipaparkan oleh bapak Sunahwi,
S.Pd.I di atas sepertinya memang diakui atau tidak keberadaan kantin kejujuran
tersebut di Yayasan Taufiqurrahman sudah ditungu-tunggu keberadaannya karena
akan ada dampak yang nyata bagi peserta didik khsusunya di dalam
mengaplikasikan teori yang didapat di kelas.
Sebagaimana
dikatakan oleh Novan
Ardy Wiyani yaitu kantin kejujuran merupakan suatu sistem kontrol yang dapat
mengarahkan tindakan peserta didik dan memperbaiki tindakannya dengan
mendasarkan tindakannya pada umpan balik. Jadi pada kantin kejujuran peserta
didik sebagai simulator akan menjadi pelaku koreksi diri (self corrective
behavior) khususnya koreksi diri dalam hal kejujuran mereka ketika membeli
sesuatu di kantin kejujuran.[45]
Dalam hal ini terjustifikasi oleh tokoh masyarakat
sekitar Yayasan Taufiqurrahman, bahwa dengan keberadaan kantin kejujuran
tersebut beliau serta sangat setuju yang mana Yayasan Taufiqurrahman telah
mendirikan kantin kejujuran apalagi jika kantin itu bisa diterapkan dengan baik
atau efektif.
“ saya sangat mendukung jika Yayasan Taufiqurrahman
mengadakan kantin kejujuran, karena kapan lagi anak-anak mau dibekali dengan
praktik kejujuran dalam artian agar kejujuran itu tidak hanya teori tapi ada
bukti yang nyata.”[46]
Sebanyak apapun teori tapi tanpa ada realisasi dalam
kehidupan sehari-hari maka hal tersebut tidak akan berguna seperti dalam
pepatah Arab yang artinya “ ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon yang tidak
berbuah” Sehingga mencoba hal baru di dalam
memberikan kilas balik terhadap teori di dalam kelas itu sangat penting seperti
apa yang dijelaskan oleh pengajar Matematika di bawah ini.
“………… dengan didirikannya kantin kejujuran ini menurut
saya sangat baik, baik dalam hal ini di samping bisa menanamkan nilai-nilai
kejujuran juga anak-anak khusunya yang masih kurang pinter dalam menghitung
bisa mengaplikasikan terhadap materi yang saya sampaikan di dalam kelas ketika
proses terjadi transaksi. Walaupun saya yakin ada juga yang tidak jujur dalam
proses terjadinya transaksi, tidak jujur di sini bisa jadi salah dalam
menghitung berupa kembaliannya atau harus membayar berapa soalnya bagi
anak-anak yang masih MI terkadang masih belum tahu juga menghitung, seperti
yang saya alami ketika mengajar di dalam kelas[47]
Praktik langsung merupakan suatu metode yang cukup
efektif karena pada dasarnya kejujuran itu tidak bisa hanya lewat mulut akan
tetapi butuh ujud nyata dalam kehidupan. Di samping hal tersebut Heri Gunawan
dalam bukunya “ Pendidikan Karakter Konsep Dan Implementasi”, mengatakan
bahwa untuk menanamkan karakter
memerlukan metode khusus seperti metode pembiasaan, metode pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja
dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan[48].
Dengan metode ini kebiasaan-kebiasaan jujur akan cepat menyerap pada diri
peserta didik.
“…………saya
mengambil barang jika harganya sesuai dengan uang yang saya punya, saya takut
jika harus mengambil makanan sedangkan uang saya tidak cukup. Walaupun saya
tahu bahwa tidak akan ada yang tahu jika saya mengambilnya. Dan juga walaupun
ada penjaganya kan itu hanya memperbaiki snack yang dijatuhkan sama adik-adik
tapi tidak terus melihat anak-anak ketika mengambil kembalian atau membayarnya. [49]
Dari pengakuan dari peserta didik di atas harapan besar
dari didirikannya kantin kejujuran tersebut sudah tercapai atau dalam artian
sudah efektif karena ada indikasi takut
untuk mengambil barang yang melebihi uang yang mereka punya, akan tetapi tidak
semua peserta didik ketika peneliti mewawancarai mereka yang malah menjawab
terbalik, dalam artian masih ditemui peserta didik yang mengambil barang atau
makanan yang melebihi uang yang mereka punya atau sama sekali tidak
membayarnya. Seperti yang peneliti wawancarai peserta didiki tingkat MTs
berikut ini.
“……….yang saya tahu masih banyak teman-teman yang
mengambil makanan tapi tidak bayar biasanya ketika istirahat kan banyak mau
membeli sehingga tidak mungkin ada yang tahu apalagi penjaganya hanya
memperbaiki yang jatuh-jatuh saja, termasuk juga mengambil kembalian yang
lebih. Coba seandainya ada CCTVnya mungkin bisa dilihat dan bisa mengetahui
siapa saja yang tidak jujur, ya..kalo seperti itu anak-anak banyak mengambil
kesempatan dalam kesempitan[50]
Fasilitas merupakan intrumen penting dalam segala apapun
seperti dalam kantin kejujuran ini sudah bisa dipastikan bahwa jika fasilitas
tidak memadai apalagi untuk mengontrol terjadinya transaksi tidak ada maka akan
ada indikasi kecurangan-kecurangan.
“…….jujur itu sepertinya sulit mas.. sepengalaman saya
menjaga kantin ini sering menemui anak-anak yang tidak jujur biasanya ketika
membayarkannya, dan saya catat anak-anak yang curang tersebut dan dikasikan
kepada kesiswaan[51]
Pada
dasarnya kantin kejujuran sebuah kantin yang prinsipnya sama seperti kantin
sekolah biasa pada umumnya. Perbedaan mendasar hanya terletak pada tidak ada
penjaga kantin yang bertugas melayani dan mengawasi keluar masuk barang dan
uang
Karena
tidak ada penjaga kantin, maka setiap siswa yang ingin membeli barang dan
makanan yang disediakan di kantin kejujuran ini hanya bisa melihat bandrol
harga dan label barang yang tersedia di kantin kejujuran tersebut. Biaya yang
dikeluarkan siswa sesuai dengan banyak transaksi barang dan jumlah harga
keseluruhan barang yang mereka beli tersebut[52].
Menurut Dante, salah satu tujuan dihadirkannya kantin
kejujuran di sekolah-sekolah adalah dalam rangka membentuk karakter jujur para
siswa sejak dini, sebagai bagian dari upaya memerangi dan memutus mata rantai
tindakan korupsi di Indonesia.[53]
Namun
yang terjadi di Yayasan Taufiqurrahman
sepertinya bagian dari tujuan kantin kejujuran seperti yang dikatakana oleh Date di atas masih belum sepenuhnya terbukti.
“………semenjak saya menjadi penjaga barang di kantin ini awalnya masih
penuh tapi sekarang barang-barangnya sudah mulai berkurang dan pendapatannya
juga sudah mulai berkurang, ya maklum mas banyak yang tidak bayar. Kayaknya masih belum efektif
jika lembaga ini mendirikan kantin seperti ini soalnya fasilitasnya masih
kurang[54]
2.
Pengelolaan kantin kejujuran dalam membentuk karakter
peserta didik di Yayasan
Taufiqurrahman.
Kantin kejujuran merupakan upaya
untuk mendidik akhlak peserta didik agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran
adalah kantin yang menjual segala kebutuhan peserta didik baik berupa makanan, minuman
serta segala perlengkapan peserta didik baik berupa alat tulis menulis maupun
buku tulis. Semuanya dipajang dalam etalase kantin kejujuran tanpa ada
penjaga,sebagaimana lazimnya sebuah kantin yang kita kenal selama ini.
Di dalam Kantin dipajang kotak
uang, yang berguna untuk menampung hasil transaksi peserta didik. Bila ada
kembalian maka mereka sendiri yang mengambil dan menghitung hasil kembaliannya.
Di kantin ini dibangun kesadaran peserta didik untuk berbuat jujur tanpa harus
diawasi oleh pendidik ataupun pengelola kantin.Tujuan utamanya adalah mengukur
kejujuran peserta didik sehingga dengan pengalaman mereka itu ia akan menjadi
anggota masyarakat yang jujur ke depan.[55]
Pengelolaan
kantin kejujuran dilaksanakan secara
mandiri. Para peserta didik atau para pembeli itu mengambil sendiri aneka
minuman dan makanan ringan atau pun barang yang diinginkan. Di sana tidak ada
petugas yang berjaga maupun yang mencatat apa saja yang dibeli peserta didik.
Uniknya, setiap peserta didik yang mengambil barang langsung menuliskan apa
yang dibeli dan membayarnya tunai. Karena tidak ada penjaganya, maka mereka
meletakkan uang tersebut ke dalam kotak yang telah disediakan.[56]
Oleh
sebab itu, para pengelolanya dituntut untuk kreatif dalam menyiasati pangsa
pasar. Misalnya, dari segi penataan ruangan harus diatur sedemikian menarik,
menu yang disediakan bervariasi, harga yang sesuai dengan kondisi ekonomi peserta
didik, dan sebagainya.
Selain
itu, harus dijalin kerja sama yang baik dengan semua elemen sekolah seperti
guru, karyawan, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Komite Sekolah, juga
dengan para pengelola kantin konvensional. Tujuannya, jika terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, pihak-pihak yang dilibatkan itu bisa bekerja sama dan cepat
mengatasinya.[57]
Berbeda
dengan apa yang terjadi di Yayasan Taufiqurrahman di mana kerja sama dengan
guru dan OSIS masih kurang sebagaimana deskripsi wawancara peneliti berikut ini
dengan sebagian guru.
“…….saya
memberikan nilai plus untuk Yayasan ini karena telah berani mendirikan kantin
kejujuran yang lembaga lain sangat sedikit yang mencobanya akan tetapi
kekurangannya kantin di sini masih sangat kaku dan sepertinya berjalan sendiri-sendiri.
Dan kelihatanya OSIS belum banyak peran di dalamnya[58]
Pengakuan
dari seorang guru di atas secara tidak langsung senada dengan apa yang
dijelaskan oleh pengurus berikut khususnya yang berkaitan dengan realisasi
kantin kejujuran.
“ …….. kantin ini sangat sederhana mas soalnya
fasilitas yang tersedia juga sangat kurang jika melihat pada kantin-kantin
kajujuran yang lain sudah baik”[59]
Dari
penjelasan pengurus di atas bahwa kantin yang direalisasikan di Yayasan
Taufiqurrahman masih sederhana, dan ketika peneliti melihat langsung di tempat desain
ruangan masih kurang baik serta penataan barang masih belum diklasifikasikan
menurut harga yang hal tersebut mempermudah peserta didik.
Untuk
harga barang jualan di kantin ini lumayan terjangkau, sebagaimana deskripsi
wawancara peneliti dengan pengurus kantin berikut
“……..harganya
cukup bervariasi dari 500 sampai 1000 soalnya kasihan anak-anak takut tidak
punya uang” [60]
Sejauh
pengamatan atau observasi peneliti di kantin tersebut memang makanan yang dijual
secara harga sudah sangat baik soalnya dengan harga yang paling murah hingga
paling mahal peserta didik bisa menjangkau uang saku mereka. Dengan kata lain
yang berkaitan dengan harga barang bisa dikatakan memenuhi standar untuk kantin
yang secara geografisnya seperti di Yayasan Taufiqurrahman itu.
Kantin
kejujuran akan selalu diidentik dengan nilai-nilai kejujuran, sebagaimana
kantin kejujuran di lembaga lainya, peserta didik di Yayasan ini ketika
melaksanakan transaksi uang di simpan pada kotak yang telah tersediah dan telah
diklasifikasi sesuai dengan nominal uangnya. Sebagaimana penjelasan dari
pengurus berikut.
“…….
Dari awal kantin ini berdiri memang sudah kami beri kotak yang tertempel kertas
di mana bacaannya nominal uang yang harus dimasukkan oleh siswa atau mengambil
kembaliannya.” [61]
Penyediaan
kantin kejujuran di sekolah harus ditopang oleh manajemen yang efektif dan
efisien. Artinya, pelaksanaan program kantin kejujuran mulai dari tahap
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga evaluasi harus dilakukan dan
diarahkan kepada kemajuan dan hasil yang optimal. Proses pembukuan keuangan
maupun laporannya juga harus cermat dan teliti. Tidak kalah pentingnya,
penerapan kantin kejujuran di sekolah dilaksanakan atau beroperasi di jam-jam
tertentu sehingga tidak mengganggu kepentingan sekolah yang lainnya.
Hal ini
berbeda dengan realitas yang terjadi di Yayasan Taufiqurrahman yaitu
“……
yang saya tahu kantin ini masih perlu perbaikan di ranah manajemen saja soalnya
jika itu bisa direalisasikan saya yakin kantin ini akan berjalan dengan baik. [62]
Keberhasilan dari proses manajemen
kantin tersebut tidak akan pernah terlepas dari evaluasi, karena pada ranah
inilah akan diketahui berhasil tidaknya sebuah proses. Akan tetapi bagian dari
manajemen itu sendiri yaitu evaluasi
masih belum sepenuhnya diindahkan oleh Yayasan ini, hal itu diketahui
dari penjelasan pengurus kantin yaitu sebagai berikut.
“……setahu
saya semenjak jadi pengurus selama satu tahun ini rapat evaluasi untuk setiap
bulannya belum direalisasi, kadang dua atau tiga bulan sekali.” [63]
Dari beberapa informasi hasil wawancara yang
dilakukan dengan responden. Maka secara garis besar usaha yang ditempuh Yayasan
ini masih bermasalah dalam ranah manajemen kantin.
Disamping
itu juga Yayasan Taufiqurrahman jika ditinjau secara fasilitas masih belum
mampu atau siap dalam merealisasikan kantin kejujuran yang notabenenya dituntut
dengan nilai-nilai kejujuran. Serta kurang adanya kemampuan sumber daya manusia
yang ada di Yayasan Taufiqurrahman dalam mengelola kantin kejujuran.
Realitas
lain yang tidak bisa dilupakan kurang berhasilnya kantin kejujuran khsususnya
di Yayasan Taufiqurrahman karena secara georafis Yayasan ini jauh dari
perkotaan, walaupun hal tersebut kurang mempunyai pengaruh yang segnifikan,
terhadap berhasil tidaknya kantin kejujuran itu sendiri.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
diuraikan peneliti pada analisis data, maka kesimpulan yang diperoleh sebagai
berikut:
1.
Yayasan
Taufiqurrahman adalah lembaga yang ada di bawah naungan Kementerian Agama
Republik Indonesia adalah secara georafis bertempat di desa terpencil tepatnya
di Dusun Telenteyan Desa Longos Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep, yang
terdiri dari lembaga formal dan non formal.
2.
Yayasan
ini berdiri pada tahun 1980-an, dengan pengasuhnya K. Marzuki hingga sampai
sekarang. Yayasan ini berdiri atas dasar keperihatinan beliau terhadap
masyarakat setempat yang notabenenya pada waktu sebelum didirikan Yayasan ini
terbelakang dalam ranah pendidikan.
3.
Yayasan
Taufiqurrahan telah mendirikan Kantin Kejujuran pada tahun 2011 yang lalu,
kantin ini bediri atas inisiatif dari
para tenaga pendidik serta yang menjadi landasan paling utama berdiri karena
melihat realitas di lapangan nilai-nilai kejujuran sudah mulai luntur sehingga
dengan kantin ini Yayasan Taufiqurrahman mengharapkan nilai-nilai kejujuran
bisa tertanam dalam diri peserta didik. Kantin kejujuran di Yayasan Taufiqurrahman
masih belum sepenuhnya dilepas seperti kantin-kantin kejujuran yang lainnya,
akan tetapi masih ada petugas yang mana petugas tersebut tidak untuk mengawasi
akan tetapi sekedar merapikan barang-barang yang jatuh saja.
4.
Dilihat
dari perspektif manajemen, pengelolaan kantin kejujuran di Yayasan
Taufiqurrahman masih kurang baik, seperti pengelolaan kantin kejujuran di
lembaga lain. Masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki seperti
manajemen, sarana prasarana. Juga yang perlu diperhatikan dalam masalah desain
tempat dan fasilitas CCTV. Kantin kejujuran di Yayasan Taufiqurrahman walaupun
sederhana dan sistem pengelolaan masih perlu diperbaiki, akan tetapi
nilai-nilai kejujuran yang menjadi
tujuan akhir dari kantin ini telah nampak bagi diri siswa, banyak di antara
mereka yang peneliti temui di lapangan merasa takut dan berdosa jika berbohong
atau mencuri barang-barang kantin. Untuk keefektivitasan kantin kejujuran yang
ada di Yayasan Taufiqurahman dalam membentuk karakter peserta didik masih kurang
efektif, soalnya masih ditemui oleh peneliti peserta didik yang masih tidak
jujur walaupun jumlahnya sangat sedikit dan biasanya mereka peserta didik yang
kelaparan dan tidak punya uang untuk membeli. Juga sistem pengelolaan yang
perlu ditingkatkan karena hal itu merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan
dari kantin kejujuran.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwi,
Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002),
Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, dalam CD Rom al-Maktabah al-Syamilah al-Hadis al Syarif,
Volume XX, h. 247, hadis nomor 6094.
As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr,
Toha Putra, Semarang,1995,
Barnawi ,et
al., Strategi Dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, ,2011),
Barnawi dan M.Arifin,
Strategi Dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, ,2011)
Depertemen
Agama Republik Indonesia , Al Quran dan Terjemah, (Surabaya :
Mahkota, 1989)
Dharma Kesuma, et al., Pendidikan
Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011)
Furqon Hidayatullah, Pendidikan
Karakter Membangun Peradaban Bangsa (Surakarta: Yuma Pustaka 2010)
Her
Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep
Dan Implementasi, (Bandung : 2012)
Luqman.,” Implementasi Kebijakan
Konvergensi Gas Kontradiks Terhadap Kesejahteraan Dan Nilai Efektivitas “
Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,(Surakarta: Perpustakaan
Sospol,2012)
M. Dahlan Al
Barri, et al. , Kamus Ilmiah Popular, (Yogyakarta, Arkola, 1994)
Muhammad Anis
Matta, “Membentuk Karakter Cara Islam”,(Jakarta : Al- I’tishom Cahaya
Umat, 2003) cet Ke-tiga
Novan Ardy Wiyani, Peran Guru Dalam Penanaman Nilai-Nilai
Kejujuran
Melalui Kantin Kejujuran, Jurnal Dialektika,( Bumiayu VOl 1
NO. 1 SEP – DES 2011)
Ratna
Megawati, Character Parenting Space (Bandung: Read 2007)
Rusyadi, Kamus
Indonesia Arab (Jakarta: Rineka Cipta 1995)
Sururi,
Manajemen Peserta didik,( Jawa Barat : Al pabeta,2009)
Abd. Majid, “Pentingnya
Pendidikan Berbasis Karakter”, website NU, akses Sumenep 05 April 2012
Agus Wibowo, Kantin
Kejujuran dan Pendidikan Moral, Koran suaramerdeka.com, akses tanggal 19
maret 2013.
Depdiknas. 2007. Manajemen
Layanan Khusus: materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala
sekolah/kepala sekolah). Jakarta. Akses Tanggal 20 Desember 2012
http://budhisantoso97.blogdetik.com/2008/12/25/tujuh-dosa-menurut-mahatma-gandhi/.
Akses Tanggal 29 Desember 2012
http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efektifitas/efektifitas
tidak tercapai. akses Tanggal 29 Desember 2012
http://mohyamin.wordpress.com/2009/12/21/kantin-kejujuran/,
akses Tanggal 26 Desember 2012
Pendidikan Karakter Hanya Teori,
Koran Suara Pembaharuan Memihak Kebenaran,(Jakarta), akses
Sabtu, 29 Desember 2012
Wurianto, Arif
Budi. 2010. Pendidikan Karakter ( Character Building) Dalam Menghadapi
Kancah Global. Diunduh dari www.wurisan.blogspot.com , akses Tanggal 20
Desember 2012
www.mendikdasmen.kemdiknas.go.id,
akses Tanggal
19 Desember 2012
Zakiah
Daratjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang 1991) Cet. XIII,
h.56.
[1] Pendidikan Karakter Hanya Teori, Koran Suara
Pembaharuan Memihak Kebenaran,(Jakarta), akses Sabtu, 29 Desember 2012
[2] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , Bab II dasar, fungsi
dan tujuan. pasal 2. Yaitu pendidikan
nasional berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945. Pasal 3 pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
[3] Barnawi ,et al., Strategi Dan
Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
,2011), h. 17
[7]
Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, dalam CD Rom al-Maktabah al-Syamilah al-Hadis al Syarif, Volume XX,
h. 247, hadis nomor 6094.
[10] http://budhisantoso97.blogdetik.com/2008/12/25/tujuh-dosa-menurut-mahatma-gandhi/.
Akses Tanggal 29 Desember 2012
[13] Luqman.,” Implementasi
Kebijakan Konvergensi Gas Kontradiks Terhadap Kesejahteraan Dan Nilai
Efektivitas “ Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,(Surakarta:
Perpustakaan Sospol,2012), h . 5
[14] http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efektifitas/efektifitas
tidak tercapai. akses Tanggal 29 Desember 2012
[16]
Depdiknas. 2007. Manajemen
Layanan Khusus: materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala
sekolah/kepala sekolah). Jakarta. Akses Tanggal 20 Desember 2012
[18] Furqon
Hidayatullah, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa (Surakarta:
Yuma Pustaka 2010), h. 12
[20] Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwi, Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
2002), h. 364 dan 863.
[22]
Dharma Kesuma, et al.,
Pendidikan Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 24
[23] Wurianto, Arif
Budi. 2010. Pendidikan Karakter ( Character Building) Dalam Menghadapi
Kancah Global. Diunduh dari www.wurisan.blogspot.com , akses Tanggal 20 Desember 2012
[26]
Dharma kesuma,at al.,
pendidikan karkater kajian teori dan praktek di sekolah, (Bandung : 2012), h.
13
[28]
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2187875-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-
karakter/ #ixzz2GnDievee, akses Tanggal 20 Desember 2012
[29] Depertemen Agama Republik
Indonesia , Al Quran dan Terjemah, (Surabaya :
Mahkota, 1989), h. 413
[32]
Muhammad Anis Matta, “Membentuk Karakter Cara Islam”,(Jakarta : Al-
I’tishom Cahaya Umat, 2003) cet Ke-tiga h. 35
[37] Barnawi dan M.Arifin,
Strategi Dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, ,2011), h. 17
[39] Novan
Ardy Wiyani, Peran Guru Dalam Penanaman Nilai-Nilai Kejujuran
Melalui Kantin Kejujuran, Jurnal Dialektika,(
Bumiayu VOl 1 NO. 1 SEP – DES 2011), h.
5
[52]Anom,Eko.2011.“EfekNegati
Kantin
Kejujuran.”http://notesanom.wordpress.com/2011
/11/02/efek-negatif-adanya-kantin-jujur/. Di akses online tanggal 29 Maret 2013
[57] Agus Wibowo, Kantin Kejujuran
dan Pendidikan Moral, Koran suaramerdeka.com, akses tanggal 19 maret 2013.