BERAPA
HARGA BAHUMU………..?*
Setiap manusia hidup di
dunia disamping ada wilayah untuk memilih yang terbaik dari yang baik juga ada
hal yang tidak bisa ditutup-tutupi dan kita tidak bisa lari dari hal tersebut,
yaitu sedih dan bahagia. Dua hal itulah yang akan selalu datang tanpa kita
sadari dan memaksakan diri untuk menggapainya karena dua hal itu wilayahnya ada
pada diri kita yang terdalam yaitu perasaan.
Dua perasaan tersebut
diatas datang pada setiap diri kita tanpa melihat strata sosial, cantik, jelek,
gemuk, kurus, besar kecil, dan kaya raya. Semuanya akan pasti merasakan dua hal
ITU termasuk juga dengan penulis.
Satu bulan yang lalu
penulis sempat trauma dan hampir tidak mengenal diri sendiri, kejadian itu
bermula dari retaknya sebuah hubungan yang telah dibangun dengan seorang perempuan
yang penulis anggap dan mempunyai keyakinan akan menjadi pasangan hidup. Tepi
takdir berkata lain dia meninggalkan penulis tanpa kabar dan ada kemungkinan
memilih orang yang lebih pinter, kaya dan tampan dari penulis, eh jadi
curhat nich…………….. he he he he he he….
Tapi yang penulis
maksud bukan pada curhatan tersebut, ada satu hal yang membuat penulis ingat
dari pesan nenek yang ketika penulis masih kecil pada saat itu bersamaan dengan
hari raya idul fitri nenek memberikan pesan yang singkat akan tetapi penulis
masih belum pahami, yaitu “ bhauna ba’na rea larang argana cong” yang
artinya bahumu itu mahal harganya. Pesan itu yang belum sempat penulis
tafsirkan dan tak menemukan maksud yang sebenarnya, baru pada bulan yang lalu
penulis berasumsi itulah jawaban dari yang nenek pesan.
Disaat itu penulis
kebingungan harus pergi kemana dan apa yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan
semua konflik batin, lalu tanpa penulis menta embak mendatangi penulis dan memeluk sambil
meminta kepala disandarkan kebahunya, dia sambil berkata. Ayooo sekarang
menangis sepuasmu sampai baju embak basah dengan air matamu.itu kata-kata
embak yang penulis ingat waktu itu. Dan penulis lakukan itu semua sambil
mengeluarkan resah yang membelenggu dalam diri penulis.
Kira-kira setengah jam
penulis dalam pelukan embak dan bajunya telah basah dengan air mata. Embak yang
setia tidak satupun kata yang keluar setelah memintaku menyandarkan kepada
kebahunya, dia hanya menatap dengan senyum. Lalu embak melepas penulis dari
pelukannya sambil menyeka air matanya yang membasahi pipinya yang tembem.
Pada saat itulah
penulis teringat dengan pesan nenek yaitu begitu sangat mahalnya harga bahu,
dalam artian membarikan simpati dan empati pada orang lain merupakan satu hal
yang sulit untuk kita realisasikan dalam hidup kita. Yang ada malah ketika ada
orang yang sedih mereka acuh tak acuh dan bisa jadi tambah mengejeknya. Penulis
tambah sadar bahwa yang nenek katakana bahu yaitu karena bisa dijadikan tempat
menahan kepala dari orang yang sedih atau menangis.
Oleh karena itu tidak
ada pilihan lain selain bagaimana kita terus memumpah diri untuk selau ada pada
seseorang yang sedang dilanda masalah atau sedih dengan memberikan motivasi
dan penguatan supaya lebih tegar lagi.
Karena ketika ada sesorang yang sedih pada dasarnya mereka tidak butuh uang
dari kita akan tetapi hanya butuh simpati dan empati yang tulus. Dan membuat
mereka nyaman bersama kita sehingga kesedihannya hilang.
*Tulisan ini lahir
pada saat penulis sedang merenung dalam kesindirian di kamar yang sunyi sambil
menangisi masa lalu yang membekas dalam diri penulis.